Another Story in A Tales of Two Cities

Mr. Carton



"Kalau kau diberi kesempatan untuk terlahir kembali, hidup seperti apa yang akan kau pilih?" Suara Mr. Stryver berdengung di ruangan kerjanya. Hari itu, Mr. Stryver juga Mr. Carton menjalani rutinitas yang sama. Memilah setumpukan besar berkas milik Mr. Stryver.



Berbotol-botol wine telah tandas. Hari hampir pagi dan tumpukan berkas belum terlihat hasilnya.

Mr. Carton tertawa dengan handuk basah mengelilingi setengah kepalanya. "Apa Anda mabuk, Mr. Stryver? Berapa banyak botol yang Anda habiskan?"

Keduanya peminum yang handal. Tiga empat botol bukan masalah seharusnya. Namun, pertanyaan Mr. Stryver membuat Carton sangsi akan hal tersebut.

"Aku serius, Dewa Ingatan!" Hardik Mr. Stryver cukup keras hingga membuat Carton menyingkirkan berkas yang sedang dibacanya. Rekannya cukup mabuk sampai berkata demikian, sepertinya.

"Kau punya kemampuan luar biasa, hanya saja sikapmu terlalu sembarangan. Acik tak acuh, dingin, serta selalu berwajah murung. Bagaimana perempuan akan tertarik kalau sikapmu demikian?" Racau Mr. Stryver.

Mr. Carton memberikan perhatiannya. Berkas disimpan, handuk ditanggalkan. Sembari duduk tegak, pun menyesap sisa minuman di gelasnya, Carton memperhatikan Mr. Stryver, rekannya, atasannya, serta sahabatnya, dengan saksama.

"Lihat aku, Carton! Lihat karir dan kehidupanku! Tidak ada perempuan yang akan menolak lamaranku. Aku mapan, punya pengaruh serta berkedudukan cukup terpandang. Cobalah kau ubah sedikit sikapmu itu! Murah senyum tidak akan merugikanmu!" Racauan Mr. Stryver makin menjadi-jadi. Carton menggeleng dibuatnya. Sudah pasti Mr. Styver mabuk berat.

"Dengar Mr. Stryver, mau terlahir berapa kali pun, nasibku tidak akan berubah. Tidak akan ada yang peduli pada orang sepertiku." Carton mengangkat bahu, kemudian melanjutkan. "Maka, aku tidak akan peduli pada sekitar. Untuk apa?"

"Keras kepala!" Seru Mr. Stryver. Namun tidak mengejutkan Carton. Berbulan-bulan hidup dengan laki-laki tersebut membuatnya terbiasa dengan sikapnya saat mabuk.

"Kau dan kekeraskepalaanmu itu, tidak akan memberikan hasil yang baik!"

Carton tersenyum sekilas. Kadang-kadang kalau sudah seperti ini, Mr. Stryver jadi terlihat sangat tua. Mirip orangtua. Dan dia jadi seperti anak yang sedang kena marah.

"Mr. Stryver, sebaiknya Anda segera naik ke tempat tidur," bujuk Carton yang masih sadar sepenuhnya. Meraih lengan Mr. Stryver untuk dia papah sampai ke kamarnya.

"Jangan beralasan, Carton! Hidupmu tidak akan jadi lebih baik kalau tidak kau ubah kebiasaanmu itu!" Carton tidak mengindahkan racauan Mr. Stryver malam itu. Omongan orang mabuk.

Selesai memastikan laki-laki yang mempekerjakannya berada di atas tempat tidur tanpa kekurangan apapun, Carton memandangi Mr. Stryver lekat. Sedikit banyak apa yang diucapkan atasannya itu menyentil perasannya jauh di lubuk hati.

"Sekuat apapun aku berusaha berubah, tidak akan ada yang mau menerima laki-laki malang seperti Mr. Stryver. Aku bukan Anda juga bukan Mr. Darnay yang berpengetahuan luas berbudi pekerti yang baik. Aku hanya pemuda yang punya kelebihan, tidak lebih. Jadi, jangan banyak berharap Mr. Stryver."

Dan lagi ... Miss Manette sudah jadi milik orang lain. Dalam hati Carton meneruskan.

Fin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...