Sarapan

Karna tengah merokok di halaman kostannya saat Jailani datang sembari cengengesan. Duduk bersandarkan pintu dengan sebelah kaki selonjor sebelah lainnya ditekuk. Jailani mengambil tempat di depan Karna.

"Jadi, gimana rasanya merawanin anak orang?"

Batang rokok yang baru setengah habis, Karna lemparkan ke arah Jailani.

Arthawidya

Pernah, suatu kali Karna ingin sekali merutuki Jailani dengan segala macam kata makian yang ada. Saat Karna masih menekuni pekerjaannya yang 'itu'. Ada satu pelanggan yang tidak mungkin dia lupa selain Madea.

Berkali-kali Karna mencocokkan perempuan di depannya dengan foto yang dia terima dari Jailani. Bahkan Karna menelepon pemuda tersebut memastikan informasi yang sampai ke ponselnya.

"Oi, jangan bercanda kamu?"

Nama, Doa dan Kutukan

Ada kala, dimana mereka menjadi gila. Frustasi akan segala urusan dunia yang mencekik. Memaksa mereka untuk sejenak menikmati surga kecil ciptaan mereka sendiri.

Menjelang tengah malam, Madea datang mengetuk pintu kostan Karna. Pemuda tersebut sudah akan memaki siapa saja yang berani mengganggu tidurnya. Namun luluh begitu senyum Madea juga wajah lembutnya yang diterpa cahaya lampu.

"Temani aku minum, yah?" katanya sambil mengangkat tinggi-tinggi jinjingan yang dibawa perempuan tersebut.

Tak Lagi Sama

Ada masa dimana, Karna tak lagi memandang sama seorang Madea.

Kala itu merupakan upacara besar bagi seluruh mahasiswa yang telah menempuh pendidikan selama empat tahun lamanya. Berjuang menyelesaikan segala tugas, pun mengejar dosen yang kadang bikin bingung apa maunya. Karna memutuskan buat tidak datang.

Selain tersandung biaya, siapa yang mau datang mendampingi Karna. Orangtuanya? Mimpi kali kalau sampai orangtuanya bisa bahkan mau datang. Mereka mungkin sudah lupa dengan keberadaan Karna.

Save The City: Epilogue? Last Part

Selasa, 14 Juni 2022

Kupikir, Edentria akan selamanya baik-baik saja sebelum kutulis catatan ini.

Medan sihir yang melindungi pulau, akan mampu menghalau sihir jahat yang ingin mengacau kedamaian Edentria.

Tapi, saat catatan ini dibuat, Edentria bergerak menuju ke kehancuran. Hanya beberapa orang yang benar-benar dapat diandalkan. Dan setengahnya adalah manusia.

Makhluk fana yang membutuhkan makan, minum, juga beristirahat.

Benteng yang kami temukan pun, tidak mungkin bertahan cukup lama. Kami harus keluar dari pulau. Atau mencari cara bagaimana merebut kembali pusat kota yang berhasil diduduki makhluk-makhluk menjijikan tak berperasaan.

***

"Jong, KA manggil buat kumpul!" Jonghee menyembunyikan buku catatannya saat Alvin berteriak memanggil.

Save The City: Epilogue? Part IX

"Kim Jonghee!"

'Aku mengantuk.'

"Kim. Jong. Hee!"

'Berisik!'

"Kalau kamu nggak mau bangun, aku cium yah?"

'Siapa?'

"Jong, serius dong!"

'Siapa?'

"Jong, kamu belum mati, 'kan?"

Save The City: Epilogue? Part VIII

Setiap keputusan punya konsekuensi. Sepert halnya sekarang ini. Berani maju, berarti Jonghee berani untuk mati.

Tapi tentu Jonghee tidak maju begitu saja tanpa persiapan. Sabit raksasa di genggaman, Lumiere namanya. Meninggalkan bekas terbakar begitu disabetkan.

Kalau boleh, Jonghee sebenarnya tidak mau mengikutsertakan Will ke dalam misi bunuh diri ini (menurut Jonghee). Karena bagaimanapun, semua ini keputusannya. Tapi, posisi perempuan itu membuat Jonghee nggak bisa buat nggak minta bantuan Will. Dia manusia biasa, mana bisa melayang.

Save The City: Epilogue? Part VII

Jonghee tidak bisa menggunakan kemampuan manipulasi apinya, karena Logan sudah menyerapnya, menjadikan kemampuan itu menjadi miliknya untuk sementara. Kalau Jonghee tidak salah hitung, tinggal lima belas menit lagi hingga kemampuannya itu bisa kembali. Jadinya, Jonghee hanya bisa menggunakan manipulasi angin. Menjerat Logan dalam beragam jaring angin, tali angin, yang paling kuat sekalipun. Namun tetap belum mampu membuat seorang Logan Herondale kelelahan. Malah, setiap detiknya, tenaga Jonghee terkuras secara perlahan.

'Ya ampun, nggak ada cara lain apa?'

Save The City: Epilogue? Part VI

Tidak sulit menemukan pak Orion. Pun tidak ada kelelawar yang menghadang. Sepertinya tempat yang mereka incar memang akademi. Jonghee jadi keingatan kata-kata Pak Euijin. Bahwa akademi, satu-satunya pertahanan terakhir Edentria.

"Pak Ori!!" teriak Jonghee masih di atas punggung si grifiin Will.

Yang dipanggil mengalihkan perhatian. Matanya menyipit memastikan penglihatan.

"Oy! Jong!" katanya sambil melambai-lambai tangan.

Save The City: Epilogue? Part V

Yang dimaksud dengan Kim's Army adalah monster-monster, peri juga peliharaan yang berhasil Jonghee kumpulkan selama di Akademi. Dia lebih suka memanggilnya Kim's Army ketimbang peliharaan. Biar lebih eksklusif.

"Foo!" Jonghee menemukan perinya di depan asrama Sunrise, sedang mengatur barisan hewan peliharaan siswi Sunrise. Membawa mereka ke tempat yang lebih aman. Gilgamesh--si bocah emas setinggi lutut Jonghee berjaga kalau-kalau ada kelelawar yang menyerang mereka. Bersama siswi Sunrise level satu dan dua. Sepertinya level tiga sampai lima sudah terjun ke medan tempur.

Save The City: Epilogue? Part IV

Bilah dari sebuah tombak sudah akan membelah punggung Jonghee seandainya Logan Herondale tidak memperingatkan gadis tersebut. Refleks saja sebuah barrier angin Jonghee ciptakan. Menahan mata tombak di udara.

Sosok penyerangnya menyeramkan. Sebuah bayang-bayang hitam dengan lubang mata juga mulut semerah darah. Jonghee sampai tercengang dibuatnya. Sepersekian detik, gadis itu hanya termangu.

Save The City: Epilogue? Part III

Pemagang sekuriti berada di barisan paling depan. Anak-anak yang sepertinya level satu, membantu di belakang. Memadamkan api, mengevakuasi siswa-siswa level nol. Ada juga bu Yukio, berdiri tepat di belakang pasukan Kepala Akademi Runako, menerbangkan batu-batu berukuran kecil dengan telekinesisnya.

Jonghee yang masih mencerna kekacauan yang terjadi, dikejutkan dengan kendaraan yang berhenti mendadak. Tidak mulus pula. Membuatnya terantuk ke depan.

"Aduh, pak!"

"Nggak usah ngeluh, ayo turun, Jong!"

Save The City: Epilogue? Part II

Serangan pertama terjadi di depan mata Jonghee. Ledakan mirip nuklir menyilaukan mata Jonghee yang sedang membereskan display Flower Shop. Kalau dia tidak salah memperhitungkan, asalnya dari arah Akademi.

"BAPAK! AKADEMI DISERANG!" kalap, Jonghee sampai teriak sambil menjeblak pintu masuk FloShop. Beruntung kacanya nggak sampai pecah.

Save The City: Epilogue?

Katanya, menjelang kematian seseorang akan melihat kilas balik semasa hidupnya.

Hak itulah yang dialami Jonghee saat ini.

Dimana saat-saat terbaik juga terburuk dalam hidupnya, terhampar di hadapannya.

'Sudah berakhir ... yah?' tanyanya kemudian mulai memejamkan mata.

"Kim Jonghee!"

Seseorang baru saja menyerukan namanya. Jonghee tidak yakin siapa. Kelopak matanya terasa berat untuk bergerak. Memastikan serta mengingat orang terakhir yang menyerukan namanya. Tapi rasa kantuk, mulai merenggut kesadarannya.

"Kim. Jong. Hee!"

'Aku mengantuk.'

Fighter Power

Sudah sejak lama Jonghee tidak berlatih. Kesehariannya dia habiskan dengan bermalas-malasan atau mengunjungi FloShop kalau sedang ingin. Kelimpunganlah Kim Jonghee saat fighter power melawan Kou Sosuke. Pemuda yang jelas dibawah levelnya, namun punya seribu cara buat menumbangkan siapa saja. Termasuk dirinya, Kim Jonghee.

"Ada apa Jonghee-san? Padahal pukulan saya belum cukup kuat, loh," pungkas Kou Sosuke yang berdiri pongah di hadapan Jonghee.

Review Suka-suka: Fate Aphocrypa

Karena harus mengejar ketertinggalan hutang postingan yang kurang, saya mau curhat aja. Fiksinya belakangan, hehe. Nggak curhat juga sih, ada info yang mudah-mudahan bermanfaat.

Oke, kali ini saya mau kasih ulasan versi saya--soalnya nggak berstruktur sama sekali alias suka-suka, wkwk.

Yang mau saya ulas, dararam, anime Fate Series, Fate Aphocrypa.

Masa Depan

Karna masih tidak percaya pada sosok yang terpantul di cermin. Dia begitu tampan, begitu menawan. Bukan sosok dekil yang selama ini dikenalnya.

Bukan dia saja. Jailani juga Sekar memandanginya sambil menganga tidak percaya.

Ah, bisa terlambat dia kalau terus mempertanyakan diri sendiri. Memecah keheningan, Karna berdeham. Tampak melonggarkan dasi yang melingkar di leher.

Boomiya

Perjumpaan bukan sebuah awal.

Berakhir bukan berarti berpisah.

Pertemuan kita ... adalah sesuatu yang akan selalu kukenang.

Meski, akhir dari perjalanan kita, tak begitu indah untuk diingat.

***

Di bawah rintik hujan kita dipertemukan. Dengan gigil menggrogot tubuh, aku berjalan terseok menggapai tempat berteduh. Setidaknya, aku terhindar dari derasnya hujan yang mengguyur.

Keluarga?

Kadang, Karna berpikir, kenapa tidak sejak dulu dia mengakhiri hidup.

Motivasi apa yang membuatnya bertahan hingga sekarang.

Semasa kuliah dulu juga begitu. Buat apa dia susah-susah cari uang? Buat titel yang tidak terpakai sekarang? Atau membanggakan orang lain? Tapi siapa?

Sekar

Namanya Sekar. Itu yang diketahui Karna, Madea juga Jailani setelah gadis tersebut berpakaian rapi. Dengan rambut dikucir, hasil karya Madea, Sekar berkata dengan terbata. Tahulah semua orang jika Sekar tidak bisa berbicara.

Gadis tersebut terus menunduk. Tidak ingin melihat tatapan merendahkan dari orang-orang di sekelilingnya. Dia terlalu takut. Takut dengan beragam reaksi yang sudah sering diterimanya.

Ngawur

"Ada apa?"

"Tidak ada."

"Terus kenapa merokok?"

"Sedang ingin saja."

"Aneh."

"Selingan itu perlu."

"Masalah juga perlu."

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...