Boomiya

Perjumpaan bukan sebuah awal.

Berakhir bukan berarti berpisah.

Pertemuan kita ... adalah sesuatu yang akan selalu kukenang.

Meski, akhir dari perjalanan kita, tak begitu indah untuk diingat.

***

Di bawah rintik hujan kita dipertemukan. Dengan gigil menggrogot tubuh, aku berjalan terseok menggapai tempat berteduh. Setidaknya, aku terhindar dari derasnya hujan yang mengguyur.


Kala matamu tertumbuk pada tubuh mungilku, kulihat raut panik membayang di wajahmu. Tak pernah seumur hidup, aku merasa seberharga itu.

Kamu menghampiriku dengan tergesa. Bermodalkan sapu tangan berbahan katun, kamu balut tubuhku lalu kamu bawa dalam dekapan. Sambil mengucapkan beragam kalimat menenangkan, aku perlahan tertidur dalam pelukan.

***

Seminggu berlalu sejak pertemuan kita. Kamu begitu bahagia melihat perkembanganku. Gemuk dan sehat. Aku juga bahagia melihatmu bahagia.

Kamu ... satu dari sedikit orang yang mensyukuri keberadaanku. Menginginkanku. Dan tidak merasa risih dengan adanya aku berkeliaran di sekitarmu.

Di kamar. Di ruang tamu. Di dapur.

"Nae adeul~" begitu panggilmu. Yang belakangan ketahu, artinya membuatku tersipu. Tak pernah ada orang yang semesra itu memanggilku.

Jika diizinkan, bolehkah aku memanggilmu ibu?

***

Beberapa hari ini kamu selalu pulang terlambat. Dari informasi yang ku dapat, kamu mendapat jam tugas malam.

Apakah artinya kamu tidak tidur semalaman? Aku bertanya-tanya.

Memikirkannya membuatku tidak ingin pergi tidur. Inginnya, aku ikut untuk menemanimu.

***

"Boomiya, kenapa tidur di sini, hm?" mataku mengerjap fokus pada sosoknya di hadapanku.

Ah, aku lupa bercerita kalau kamu pecinta drama korea. Selain panggilan manis yang selalu kamu gunakan, kamu menamaiku dengan sesuatu yang terdengar aneh. Tidak familiar bahkan di lingkunganku tumbuh.

"Dia nunggu kamu semalaman di sana. Ibu paksa masuk juga dia tetep balik lagi ke sana." itu suara ibumu.

Kamu memandangiku dengan cemas. Oh, ibu, apa aku membuatmu khawatir? Apa aku salah menungguimu pulang?

"Boomiya, angin malam nggak bagus buat kesehatan. Kamu bisa sakit kalau tidur di luar."

Aku menunduk. Tidak berani membantah. Ingin kubalas, 'bukankah ibu juga sama?'. Tapi aku tidak mau mendebat ibu yang tampaknya sangat lelah. Jadi aku diam saja.

***

"Adeul~ Nae adeul~" mendengar panggilan riang itu, sontak membuatku menoleh.

Sebuah kilat, menyilaukan mataku. Kukira sebentar lagi hujan. Tapi, begitu melihat kamu begitu senang memandangi ponsel di tangan, tahulah aku kalau kamu baru saja mengambil gambar.

Hah! Apa aku sudah berpose dengan bagus?

"Ah, cantiknya putri eomma. Boomiya selalu terlihat cantik," pujinya sembari memperlihatkan hasil jepretan tersebut kepadaku.

Ah, begitukah? Aku jadi makin tersipu.

***

Seperti Romeo yang tak diberi restu untuk bersama Juliette, sepertinya alam tak menginginkan kita bersama lebih lama. Aku jatuh sakit. Berminggu-minggu tanpa keadaan yang pasti.

Aku jadi tidak bisa bermain denganmu. Tidak bisa menungguimu pulang. Apalagi membuatmu tersenyum riang.

Aku tahu. Meski kamu tersenyum, jauh dilubuk hati, kamu menangis. Aku bisa melihat semuanya dari matamu, ibu.

"Boomiya, maaf, ibu nggak bisa rawat kamu dengan baik. Nggak bisa jaga kamu, makanya kamu sakit begini."

Tidak!

Jangan seperti itu!

"Putri ibu yang cantik, Boom, musim semi yang mencerahkan hari-hari ibu, ibu nggak maksa kamu. Kalau sudah waktunya, ibu ikhlas. Ibu rela. Asal kamu nggak kesakitan lagi, ibu bakal merelakan kamu, nak."

Waktu itu, aku terlalu egois dengan tetap bertahan meski tubuhku sudah begitu rapuh untuk menopang jiwaku yang menumpang. Hingga, membuatmu khawatir, membuatmu menyalahkan diri sendiri. Padahal, semua itu salahku. Coba saja jika aku mengalah, memilih menyerah untuk meninggalkanmu, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini.

Sebelum mataku sempurna terpejam, kurekam setiap detail dari wajahmu. Berharap kelak, saat kita bertemu lagi di masa lain, aku tetap mengenalmu. Lalu kita akan dipertemukan lagi.

Sebagai kucing, aku sangat bersyukur dapat bertemu denganmu.

Maafkan aku sudah membuatmu khawatir ibu.

Maaf karena terus menyusahkanmu.

Terima kasih sudah merawat dan membesarkanku.

Maaf, aku tidak bisa lebih lama lagi menemuimu.

Kuharap, akan ada Boom yang lain yang akan mencerahkan harimu.

Aku pamit pergi.

Selamat tinggal ibu.

FIN
#ONEDAYONEPOST #ODOPBatch5 #TantanganPekanKeenam

2 komentar:

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...