Tak Lagi Sama

Ada masa dimana, Karna tak lagi memandang sama seorang Madea.

Kala itu merupakan upacara besar bagi seluruh mahasiswa yang telah menempuh pendidikan selama empat tahun lamanya. Berjuang menyelesaikan segala tugas, pun mengejar dosen yang kadang bikin bingung apa maunya. Karna memutuskan buat tidak datang.

Selain tersandung biaya, siapa yang mau datang mendampingi Karna. Orangtuanya? Mimpi kali kalau sampai orangtuanya bisa bahkan mau datang. Mereka mungkin sudah lupa dengan keberadaan Karna.


Hari itu, Karna memilih bermalas-malasan di dalam kostan. Mengumpulkan banyak energi buat kerja nanti. Setelah terbebas dari predikat mahasiswa, rasanya ada satu beban yang berhasil diangkat dari pundaknya. Jadi Karna, mau bermalas-malasan dahulu selagi sempat. Hitung-hitung pengganti istirahat yang terlewat di masa lalu.

Bergelung dalam selimut, membiarkan gorden jendela terus tertutup meski matahari sudah bersinar cukup terang sejak pagi. Awalnya Karna tak mengindahkan gedoran di pintu kostan. Paling Ibu yang punya kostan atau preman penagih hutang. Nanti juga pergi sendiri. Karna terlalu malas buat sekedar beranjak dari pembaringan.

Sampai sebuah suara membuat matanya terbuka, malas.

"Karna, saya bakal dobrak kalau kamu nggak juga buka pintu!" teriakan khas seorang Madea.

Satu detik pertama, belum ada sahutan.

Dua detik berikutnya, Madea menghela napas di depan pintu.

Butuh sepuluh detik lagi buat Madea mengangkat tangan mengetuk pintu.

"Kar--"

Pintu yang terbuka mengejutkan Madea. Tampang bangun tidur Karna menyambutnya. Membuatnya terperangah sepersekian detik.

"Astaganaga! Jam segini kamu baru bangun?" Madea yang panik mencoba masuk ke dalam kostan Karna. Namun sebelum hal itu terjadi, Karna sudah lebih dulu mencegahnya.

"Langsung saja, ada apa?" ada raut tidak suka di wajah Karna. Meski demikian, tak membuat gentar seorang Madea.

"Ada apa kamu bilang? Hari ini kamu wisuda, acaranya satu jam lagi tahu!"

"Lalu?" Madea yang hendak menerobos, mendorong tubuh jangkung Karna, mendapat pelototan tajam tidak suka dari pemuda tersebut.

"Kamu harus pergi, ini acara sekali seumur hidup. Kamu mau lewatin gitu aja?" jelas Madea yang menatap tepat ke manik sewarna jelaga milik Karna.

"Buat apa?"

"Buat segala yang kamu perjuangkan selama empat tahun ini. Buat pengorbanan, juga lelah yang pernah kamu tanggung." sedikit banyak, tatapan Madea melemahkan Karna.

Pemuda tersebut menghela napas. Membuka lebar pintu kostannya.

"Percuma. Administrasinya sudah ditutup sekitar dua minggu lalu."

Senyum terbit dari bibir Madea. Dia tahu, tidak sesulit itu membujuk Karna.

"Kalau untuk itu, kamu harus menggantinya kapan-kapan. Sekarang, kita harus siap-siap kalau nggak mau datang telat. Mendingan kamu cepetan mandi, eh, nggak usah. Cuci muka aja, kamu udah oke nggak mandi juga. Nah, Art," Madea menunjuk seseorang yang sedari tadi berdiri di belakangnya, yang eksistensinya baru Karna ketahui. "bawa itu masuk. Harusnya, ukurannya pas buat Karna."

"Baik nyonya," pemuda yang dipanggil Art mengangguk kemudian mengikuti langkah Madea memasuki kostan Karna.

Manik Karna melebar cukup terkejut.

"Apa yang--"

"Ayo cepat cuci muka! Waktu kita tinggal empat puluh lima menit lagi."

Art, kependekan dari Arthur. Ternyata asisten pribadi Madea. Karna memaksa buat mandi yang menghabiskan cukup banyak waktu, sepuluh menit. Untungnya dia laki-laki, jadi tidak perlu banyak hal untuk didandani.

Yang dibawa masuk Arthur satu stel kemeja juga jas hitam yang melekat sempurna di tubuh Karna. Pemuda tersebut terlihat menawan dengan rambut panjangnya yang disisir ke belakang. Wajahnya diberi sedikit taburan bedak setelah dipaksa. Membuatnya terlihat tidak sepucat sebelumnya.

"Kenapa kemejanya hitam sementara dasinya merah?" iseng Karna bertanya setelah berpakaian.

"Karena dua warna tersebut menyempurnakan kulit pucatmu." Karna tidak mengerti dengan jawaban Madea. Dia memilih diam. Bahkan saat keduanya berangkat ke tempat wisudaan, tak banyak kata yang mereka tukar.

"Kamu terlihat luar biasa hari ini," kata Madea sesaat sebelum melepas Karna ke dalam gedung acara. Matanya menyiratkan kebanggaan seorang ibu. Pandangan yang diam-diam mengusik benak Karna.

"Aku pergi dulu," pamit Karna tidak tahan berlama-lama menerima sorot demikian.

Sampai acara utama berakhir, Madea masih menungguinya. Menyambut kedatangan Karna dengan senyum bahagia. Di lengan perempuan itu sudah ada kamera.

"Ayo, ayo, kita foto dulu!" heboh Madea meminta orang asing buat mengambil foto mereka berdua.

Tak lama, beberapa perempuan teman seangkatan Karna menghampiri mereka. Meminta berfoto bersama. Pun beberapa teman laki-laki Karna. Mereka saling sapa, bersuka ria, saling berpelukan. Meski tidak banyak kenangan yang membekas di benak Karna, dia tahu, teman-temannya orang-orang baik. Mereka berfoto bersama. Dan untuk pertama kalinya di acara tersebut, Karna tersenyum.

Madea yang memperhatikan, ikut tersenyum. Di balik kamera, sembari memberi aba-aba.

"Wah, siapa Kar, cakep bener dah?" salah satu teman Karna, Dadan, melirik sekilas ke arah Madea yang sedang sibuk bersama anak-anak perempuan, melihat hasil jepretan.
Karna ikut menoleh ke arah Madea. Lupa pada fakta yang satu itu. Karna harus menjawab apa?

"Gila lo, Kar! Punya bibi cakep nggak bilang-bilang!" tepukan Fahmi di pundak membuat Karna menoleh ke arahnya. "Mana kerja di LN lagi, nggak kurang cakep gimana coba?"

"Lo tau dari mana, Mi?"

"Ya nanya lah, bego!" sahut Fahmi secepat kilat pada pertanyaan Dadan. Karna tersenyum melihat keramaian teman-temannya kalau sudah mengobrol begini. Biasa anak laki, kalau sudah bercanda ramainya nggak karu-karuan.

"Udah mau pulang?" tanya Madea kala Karna menghampiri. Pemuda tersebut mengangguk, lantas keduanya berlalu dari keramaian setelah berpamitan.

Madea yang menyetir karena Karna belum ahli mengendalikan kemudi. Untuk sehari ini, Karna betah berlama-lama dalam pakaian rapi nan formal.

"Terima kasih," ucapnya serupa angin.

"Apa?" Madea yang berkonsentrasi pada jalanan, tak memerhatikan ucapan Karna.

"Terima kasih untuk segalanya," pada saat itu lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Membuat Madea menyempatkan diri menoleh ke arah Karna. Pemuda itu tersenyum, tulus. Senyum yang belum pernah dilihat Madea. Membuatnya terdiam dalam keterpanaan. Sampai, bunyi klakson beruntun dari belakang mobilnya mengejutkan Madea.

"Oh, shit!" membuatnya mengumpat seketika. Sedangkan Karna tertawa. Renyah.

Sejak saat itu, Karna tahu. Madea tidak hanya membutuhkannya, tapi juga peduli padanya.

Fin
#OneDayOnePost #ODOPBatch5

1 komentar:

  1. Asyik ya Karna... Haaa...
    Yeah, Madea memanglah malaikat banget ya ^_^

    BalasHapus

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...