Hidup Normal?

Musuh terus berdatangan. Menggantikan yang sekarat, mengacukan senjata berbilah tajam. Jumlahnya ratusan, mungkin ribuan. Rasanya tidak mungkin menghitung satu persatu musuh di tengah perang.

Sementara itu, di sisi berseberangan, jumlahnya kian menyusut. Bersyukur bukan ajal yang menjemput, melainkan dibawa para healer untuk disembuhkan. Setidaknya, jangan sampai ada jatuh korban. Itu yang dipesankan Kepala Akademi, selaku komandan utama pasukan Edentria.


Noda darah di wajah hampir mengering. Bercampur peluh yang membanjir, pun napas pendek-pendek, Jonghee mengedarkan pandang. Sebagian besar rekan-rekannya masih menghunus pedang, menyabet dengan telak, berteriak. Kebanyakan di antaranya bukan manusia. Yang fana hanya beberapa orang termasuk Jonghee.

Sebuah serangan menyasar, berdasarkan raungan musuh, asalnya dari sebelah kiri. Mudah saja mengelak bagi Jonghee. Kalau saja si penyerang tidak teriak, mungkin luka sayat dari bahu kiri ke pinggul bakal tercipta.

Kehilangan target, makhluk berwajah seburuk orks membelakangi Jonghee dengan tubuh membungkuk.

Kesempatan!

Tanpa bersuara, pedang ganda di kedua tangan diayun. Kanan kiri. Dua sabetan. Diakhiri dengan tusukan diagonal dari bawah. Menyasar jantung dari punggung kanan bawah.

Raung semangat menjelma jadi pekik kesakitan. Setelah lolongan panjang, makhluk tersebut jatuh tersungkur menimpa rekannya yang menjadi korban tebasan pedang Jonghee. Satu lagi korban yang mati di tangan Jonghee. Meski mereka sejelek Orks, membunuh yang bernyawa, tetap terasa salah bagi Jonghee. Termasuk makhluk-makhluk yang diperintahkan untuk meruntuhkan Edentria.

"Merunduk!" Teriakan Kou Sosuke menyadarkan Jonghee dari keterpanaan.

Jonghee merunduk tepat saat sebuah serangan lainnya menyasar kepala. Bunyi tusukan juga becek menyambangi rungu meski dalam keadaan menunduk. Sudah pasti makhluk tadi kena panah Kou Sosuke, Si Siluman Rubah.

"Kamu nggak apa-apa, Jong?" Jonghee kembali siaga dengan kedua pedangnya kala Sosuke--yang tidak bisa dikatakan muda--bertanya.

"Nggak apa-apa. Cuma hilang fokus," sahut Jonghee santai. Dilihatnya ratusan makhluk sejelek Orks terus berdatangan.

"Kalau kamu sudah nggak kuat, jangan dipaksakan."

Kalau boleh jujur, persediaan mana Jonghee kian menipis. Tidak bisa dia mengandalkan hal-hal magis yang dapat mengefiensi pertarungan. Meningkatkan kerusakan namun meminimalisir tenaga. Meski tenaga dalam jadi imbalan.

"Tenang saja! Aku masih kuat kok," tukas Jonghee diiringi seulas senyum.

"Kalau begitu, tolong buatkan anak panah angin yang banyak. Kalau perlu tornadu. Mau saya kutuk biar cepat selesai." Maunya Jonghee demikian.

Hendak menolak demi menjaga sisa mana untuk di saat-saat tertentu. Namun, melihat bagaimana perjuangan Kou juga teman-temannya yang lain, membuat Jonghee berpikir dua kali. Susah payah mereka mempertahankan benteng Edentria. Masa Jonghee tidak ingin berjuang juga?

Meski dengan otot, Jonghee yakin bisa memukul mundur musuh. Kalau bisa, sampai mereka kapok menginjakkan kaki di Edentri.

Maka, dengan sedikit berkonsentrasi, Jonghee memanggil para roh angin. Meminta pertolongan. Mengubah tekanan udara, memperkuat putarsn angin menjadi lebih cepat. Bergerak melingka mengejar teman-temannya. Kala Jonghee membuka mata, tornado tercipta.

"Kakek!" teriak Jonghee mengalihkan perhatian Kou Sosuke. Yah, sejak dulu Kou terkenal dengan sebutan kakek. Wajar saja mengingat umurnya sudah melewati dua nol di belakang angka.

"Oke!" sahut Kou yang sedetik kemudian meraoal mantra sembari melawan musuh yang mengepung.
Seberkas cahaya memasuki tornado Jonghee. Sedetik kemudian, kilatan-kilatan hitam dari permukaannya memercik hendak mencapai tanah.

Ayunan tangan Jonghee jadi pertanda. Angin tersebut bergerak, merangsek masuk menerbangkan musuh-musuh mereka. Setidaknya, sisa pasukan pertahanan yang lain bisa sedikit beristirahat.

Kou Sosuke tersenyum puas. Hampir setengahnya musuh di telan pusaran luar biasa ganas. Namun, detik itu juga senyum itu hilang berganti raut keterkejutan. Pemuda itu berbalik. Memerhatikan puncak menara akademi yang membumbung ke langit. Kedua matanya melebar.

"Mungkinkah ...." Kou tidak meneruskan kalimatnya.

Penasaran, Jonghee menoleh ke arah yang sama. Sebuah ledakan cahaya menyilaukan mata. Reflek memejamkan mata, Jonghee merasa tubuhnya terhempas. Terkena efek ledakan.

Tak tahu bagaimana nasib kawannya yang lain.

Jonghee tidak memekik ataupun berteriak.

Kala kepala menyentak, kedua kelopak mata Jonghee terbuka sempurna. Memerhatikan sekitar, jantung Jonghee berdentum cepat. Napasnya tersengal, masih mencerna temoatnya berada saat ini.

"Jonghee-ya! Kalau kamu tidak bangun sekarang, kamu bakal terlambat masuk kelas!" teriakan juga ketukan di pintu membuat Jonghee kian panik.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Beberapa menit lalu gadis itu berada di medan perang, sekarang dia sudah berada di kamarnya.

"Jonghee-ya! Kim Jonghee!" seruan dikumandangkan. Jelas-jelas suara kakaknya.

"N--ne!" balas Jonghee agar kakaknya berhenti berteriak.

Jonghee rasa dia tengah bermimpi. Dicubitnya paha kiri berbalum piyama. Sakit. Jonghee memekik tertahan.

Berarti semua ini bukan mimpi? Monolog Jonghee dalam hati.

Sebenarnya ada apa?

Author juga tak tahu kenapa. Yang pasti, Jonghee mendapatkan kehidupan normal seperti sebelum dia bergabung ke Akademi Edentria.

Fin

#OneDayOnePost
#ODOPBatch5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...