Hope And Sacrifice

“Seharusnya kamu bergabung dengan rombongan. Di sini bukan tempat yang aman.” Dengan sisa tenaga yang ada, dengan lemah Kim Jonghee bersuara. Meski sebelumnya cukup terkejut, namun Jonghee tidak punya cukup tenaga untuk memaki Ahn Sehoon.

“Bagaimana mungkin aku meninggalkan tunanganku,” tukas Ahn Sehoon yang mengambil tempat di samping Jonghee. Tembok sisa bangunan cukup kokoh menopang dua punggung manusia. Puing-puing bangunan yang berserakan, tak Sehoon acuhkan.

Diperhatikan dengan seksama wanitanya. Memar di sekujur tubuh, darah kering di pelipis, juga tangan kanannya yang kehilangan fungsi.

“Aku baik-baik saja, okay? Hanya perlu beberapa waktu sampai tenagaku pulih kembali.” Sehoon tidak mengerti bagaimana cara kerjanya. Jadi dia hanya mengangguk saja. Bergeming di tempatnya.

“Kalau begitu, izinkan aku menemanimu.”

Jonghee terkekeh lemah. Mengais sisa-sisa tenaga. “Yang harus kamu temani itu Seonhee, dia pasti mencemaskanmu saat ini.”

“Tapi yang menjadi tunanganku itu kamu.” Sehoon mendelik cepat. Merasa tidak suka dengan ucapan Jonghee.

“Tunangan ... yah?” lirih Jonghee.

“Aku tidak yakin masih pantas menyandang status sebagai tunanganmu. Memerhatikanmu saja aku tidak pernah. Aku nyaris terlalu memikirkan diriku sendiri,” jelas Jonghee yang memerhatikan langit penuh asap hitam. Perang sudah dikobarkan. Banyak bangunan dibumihanguskan.

“Selama kamu memakai cincin ini, kamu akan selalu menjadi tunanganku.” Sehoon meraih tangan kiri Jonghee yang tergeletak di tanah. Mengisi ruang kosong di antara jemari tersebut. Lalu menautkan tangannya dengan tangan Jonghee.

Memerhatikan jalinan itu membuat Sehoon tersenyum. Kapan terakhir kali dia menggenggam erat tangan Jonghee seperti ini. Rasanya, tangan Jonghee semakin kecil setiap harinya.

“Apa kamu jarang makan akhir-akhir ini?” Sehoon menoleh. Didapatinya Jonghee yang tengah memerhatikannya dengan sorot mata penuh kerinduan. Penuh kehangatan juga kasih sayang.

“Bagaimana mungkin aku bisa makan enak saat perang dalam hitungan hari.”

“Pantas saja kamu jadi sekurus ini.” Tangan Sehoon yang lain, meraih pipi Jonghee. Disapunya lembut debu yang menempel di sana dengan jempol besar laki-laki tersebut.  Ada sorot khawatir di mata Sehoon. Membuat Jonghee tersenyum senang.

Perempuan itu berusaha mengangkat tangan kanannya yang terluka. Berusaha menggerakkannya. Ingin Jonghee balas menggengam tangan Sehoon yang berada di pipinya.

Perempuan itu meringgis, membuat Sehoon melirik ke arah sumber kesakitan yang menyelimuti Jonghee.

“Ah, tanganmu—“

“Kumohon jangan dilepas.” Tangan kiri Sehoon yang hendak meraih tangan kanan Jonghee, urung begitu perempuan itu bersuara. Tatapan Sehoon kembali tertambat pada bola mata Jonghee yang berkaca-kaca.

Satu lagi sugesti. Satu lagi ringgisan. Jonghee berhasil menggerakkan tangan kanannya yang nyaris hancur. Dengan gerakan terpatah serta memerlukan waktu yang cukup lama, Jonghee berhasil meraih tangan kiri Sehoon.  Menggenggamnya dengan segenap perasaan. Mata yang terpejam, mengalirkan sebutir cairan bening. Membasahi tautan lengan Jonghee juga Sehoon di pipi.

“Terima kasih sudah kembali. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”

Berhadapan dengan maut, hal biasa bagi Kim Jonghee. Dulu Jonghee tidak takut mati, hingga memompa keberaniannya hingga titik tertinggi. Namun kini Jonghee takut mati. Takut tidak bisa kembali. Takut meninggalkan kehidupan normalnya.

Namun Jonghee tidak bisa mundur begitu saja. Ada banyak rekan yang menunggunya kembali terjun ke medan perang. Memukul mundur lawan. Menghancurkannya, membuat mereka takut untuk kembali mencoba menguasai tanah kelahirannya.

Jonghee tidak bisa kembali ke kehidupan normalnya.

Genggaman di tangan kiri Sehoon mengerat. Mata Jonghee berkilat penuh keyakinan.

“Aku tidak bisa berjanji, tapi—“

Sebelum Jonghee menggenapkan kalimat, sebuah benda basah menyentuh permukaan bibirnya.

“Aku mengerti. Jangan mati!” itu permintaan, bukan perintah. Jonghee tahu dari sorot tajam manik yang berjarak beberapa senti dari miliknya. Jonghee dapat merasakan harapan serta ketulusan dari sentuhan Sehoon. Maka Jonghee mengangguk, berjanji dalam hati untuk tidak mati.

Jonghee memang tidak mati dalam pertempuran.

Namun, harga atas kemenangan yang diraih bersama rekan-rekannya, mengharuskan Jonghee hidup di dimensi yang bereda dengan Sehoon, tunangannya.

FIN

#OneDayOnePost
#ODOPBatch5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...