Hopeless

Pertempuran mungkin sudah selesai. Tapi bagi Jonghee, semua itu seperti sia-sia belaka. Dia tidak dapat menikmati kemenangan yang susah payah digapainya.

Dimensi yang berhasil membuatJonghee, menyurutkan nafsu makannya. Bahkan selama di sana, dapat dihitung jari berapa kali Jonghee mengunyah makanan atau berapa banyak air yang dia tegak. Meski, terang yang menyilaukan serupa cahaya matahari di tengah padang pasir, tak membuat Jonghee kepanasan sama sekali. Cenderung sejuk, dengan semilir angin yang datang dari segala arah. Membuatnya kesulitan menentukan mata angin.


Tak ada siang juga malam. Herannya, Jonghee juga tidak pernah merasa mengantuk. Waktu tidak berlaku di sana. Entah sudah berapa lama Jonghee berada di sana. Mungkin baru beberapa jam, bisa juga sudah bertahun-tahun.

Mengingat tahun berlalu di dunia yang asing bagi Jonghee membuat perempuan itu refleks melirik cincin yang tersemat di jemari kiri. Kian panjang waktu yang dilewatinya di dunia itu, membuat Jonghee kian merindu.

"Kalau memang kamu begitu merindukannya, pikirkan cara agar kita bisa keluar dari tempat ini." sebuah tangan berukuran besar mendarat di kepala Jonghee. Mengusak rambut dengan tenaga pada tingkatan sadis.

"Gil-kun!" seru Jonghee pura-pura marah.

"Tarik yang benar keretanya, anak muda!" belum sempat Jonghee membalaskan dendam, Gil sudah menerima pukulan maut di kepala. Seorang Kakek di atas kereta yang dibawa Gil, sudah mewakilkannya. Jonghee terkekeh melihat Gil yang nelangsa.

"Kenapa sih, Kakek itu harus ikut dengan kita? Menghambat perjalanan saja tahu!" sergah Gil yang tidak segan-segan menunjuk Kakek di atas kereta.

"Kita tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, Gil." Jonghee menukas santai. Karena perdebatan ini sudah sering mereka bahas.

"Ck! Susah memang berbicara dengan orang yang keras kepala!"

"Kalau begitu, kenapa juga kamu mau ikut dengan orang yang keras kepala?" membungkuk dengan badan setengah miring ke arah Gil, Jonghee memerhatikan wajah pemuda tersebut. Sangat menyenangkan melihat Gil kesal. Hiburan tersendiri buat Jonghee di dunia yang nyaris hampa.

Lama mereka berjalan, tak ada satupun kehidupan yang mereka temui. Kecuali Kakek yang menyambut kedatangan mereka ke dimensi tersebut. Kata si Kakek sih, dia juga baru saja sampai di sana. Jadi mereka sepakat untuk mencari cara atau jalan agar dapat keluar dari tempat tersebut.

"Kita istirahat!" Gil mengumumkan. Melepas kereta dengan sembarang. Ah, iya. Mereka menemukan kereta tersebut di samping si Kakek. Jenis kereta yang di tarik manusia. Yang banyak ditemui di China juga Jepang pada jaman dahulu. Jonghee sampai heran benda tersebut masih eksis di sana.

"Sial! Sial! Sial! Berapa lamapun aku menarik kereta sialan itu, aku tidak lelah sama sekali!" gerutu Gil yang menepi ke pinggiran sungai. Kalau bisa disebut demikian. Karena, meskipun ada air yang mengalir, arahnya bukan dari atas ke bawah, melainkan sebaliknya.

Dan yah, Jonghee membenarkan kata-kata Gil. Sejauh apapun mereka melangkah, seberapa panjang jalan yang mereka tempuh, mereka tidak lelah sama sekali. Apalagi lapar juga haus. Kefrustasian Gil bukan sesuatu yang bisa disalahkan. Bukan hal mengherankan nantinya apabila mereka mati saling bunuh karena gila daripada akibat kelaparan juga dehidrasi.

"Kamu ingin kembali?" tanya Kakek dari dalam kereta. Jonghee yang berada di sisi kanan, menoleh tidak yakin si Kakek berbicara dengan dirinya. Tapi, melihat bagaimana Kakek tersebut memerhatikan Jonghee dengan seksama, perempuan itu yakin si Kakek tengah bertanya pada dirinya.

"Hm, kalau bisa," jawab singkat Jonghee. Karena bagaimanapun juga, sampai saat ini, dia belum menemukan cara untuk kembali.

"Apa yang membuatmu ingin kembali? Pria itu?" si Kakek menunjuk ke arah Gil yang duduk bersila memandangi aliran sungai.

Jonghee tersenyum kecil. "Salah satunya," kata perempuan itu. "Aku tidak mungkin membiarkannya mati karena bosan."

"Aku mengerti. Apa ada hal lain lagi?" desak si Kakek.

Dengan refleks, Jonghee mengangkat tangan kiri. Mengusap lembut cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Ah, kekasihmu." tebak si Kakek. Jonghee hanya tersenyum sebagai jawaban ke arah si Kakek.

"Apa kamu yakin dia masih menunggumu? Setelah sekian waktu berlalu?" pertanyaan si Kakek melunturkan senyum Jonghee. Entah bagaimana, Kakek itu lebih dari sekedar tahu tentang tempat ini. Melainkan paham dan mengerti bagaimana tempat tersebut bekerja.

Tapi Jonghee tidak mau berharap. Perempuan tersebut mengalihkan perhatian pada Gil yang mulai tenang setelah memerhatikan aliran sungai. Mungkin air membuatnya dapat berpikir dengan jernih.

"Kalau dia memang tidak menungguku, ada hal lain yang harus kami lakukan." Jonghee berkata penuh keyakinan. Tatapannya berkilat saat bertemu pandang dengan si Kakek.
Laki-laki tua tersebut tersenyum, mencurigakan. Sulit untuk diartikan.

"Seyakin itukah kamu dapat keluar dari tempat ini? Lalu, bagaimana caranya?" sedetik setelah si Kakek bertanya, wujudnya beriak, menjadi bayang-bayang seseorang yang Jonghee kenal, Ahn Sehoon.

"Ba-bagaimana?" suara Jonghee tercekat di tenggorokan. Tidak bisa memercayai apa yang dilihatnya saat ini.

"Seharusnya, cincin itu bisa jadi katalis. Keberadaan cincin yang satunya di dunia seberang, mungkin bisa menjadi jembatan yang menghubungkan dunia ini dengan dunia sana."
Ada secercah harapan yang membayang di wajah Jonghee. Akhirnya, ada cara baginya untuk kembali.

"Itupun kalau kekasihmu masih menggunakannya." kalimat sambung si Kakek tidak memberikan penghiburan apapun.

"Oy! Apa yang sedang kalian bahas?" kemudian Gil datang menginterupsi percakapan.

Si Kakek yang meliriknya, tiba-tiba membulatkan mata.

"Akhirnya," gumam laki-laki tua tersebut tersenyum geli.

"Kalau kamu ingin kembali, sekaranglah waktunya. Aku tidak tahu kenapa kekasihmu baru menggunakan cincin itu lagi?" kata Si Kakek yang mengangkat jemarinya di depan wajah. Menunjuk ke depan lalu membust gerakan memutar, seperti gerakan membuat lingkaran.

Sebuah pusaran terbentuk. Mirip lubang yang berada di tengah-tengah angin topan. Semua yang berada di sekitarnya di tarik secara paksa.

"Sebaiknya kalian bergegas sebelum lubang itu menutup dan jalan yang terbentuk terputus begitu saja. Karena yang menjadi katalis adalah cincin kalian, aku tidak tahu kapan kekasihmu akan melepaskannya." terpaku pada kata-kata ajaib Si Kakek membuat Jonghee tak dapat bergerak. Kepalanya sibuk mencerna.

Gil yang bergerak lebih dulu. Menarik sebelah lengan Jonghee. Secara insting berlari ke arah lubang. Kalau ini kesempatan satu-satunya, mereka harus mengambil resiko.

"Tunggu, Gil! Kakek itu--"

"Aku yakin sekali kakek itu lebih senang ditinggal daripada ikut," seloroh Gil yang menjawab dengan gaya congkaknya seperti biasa.

Menyentak tubuh Jonghee agar lebih rapat dengan tubuhnya, Gil melompat ke dalam lubang dengan Jonghee dalam dekapan. Tidak ingin kemungkinan terpisah saat mendarat atau membahayakan perempuan tersebut di ujung perjalanan nanti.

Tekanan udara yang luar biasa menghantam kepala Gil. Sementara Jonghee yang berada dalam dekapannya, meremas baju bagian dada dengan mata terpejam. Seakan ribuan jarum baru saja menghujam hingga ke tulang.

Di ranah lain, angin ganas laut dini hari menampar wajah Sehoon yang menatap kosong pada deburan ombak datang kemudian pergi. Kefrustasiannya akan Jonghee, membawa pemuda tersebut hingga kemari. Cincin yang menjadi lambang hubungannya dengan Jonghee, tersemat menumpuk dengan cincin baru yang terpasang beberapa hari lalu.

Perasaannya tak ayal, selayaknya ombak yang saling bergulung. Pasang surut menabrak karang juga tepian pantai. Dia tak ingin melupakan Jonghee. Tapi Seonhee akan tersakiti karenanya.

Maka, pada saat itu, Sehoon bertekad untuk memutuskan salah satu di antara mereka. Kalaupun Jonghee sudah tiada, dia berharap perempuan itu akan merestuinya. Namun, sebaliknya. Jika Jonghee masih hidup, Sehoon berharap dia akan memahaminya.

FIN
#OneDayOnePost
#ODOPBatch5

2 komentar:

  1. Wuah... dimensi manakah itu?
    Endingnya bikin baper.
    Keren. Lanjutkan imajinasinya kak... ^_^
    #ohiyaparagrafkeduakalimatpertamakokrasaadayangkurangya?

    BalasHapus
  2. Eh, iya baru ngeh XD
    Kebiasaan habis ketik langsung pos. Nggak dibaca dulu.. Hehe ^^
    Makasih sudah diingatkan XD

    Semangat menulis juga! ^^

    BalasHapus

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...