Dia tidak pernah mengira, hidup di bawah
bayang-bayang seseorang akan sebegini menyiksanya.
***
Seperti biasa, pada saat bubar jam pulang, Ahn Sehoon sudah
akan ada di pelataran kantornya. Menunggunya dengan sabar, meski kadang cuaca
tidak bersahabat. Kecuali, saat dingin tak bisa dikompromi.
Dengan senyum terkembang, dia melambai heboh ke arah
Sehoon yang berdiri di tepi jalanan, di samping mobil sedan kesayangan.
Menyambut kedatangan wanitanya, Sehoon balas melambai pun
tersenyum lebar. Dia segera berlari, tak ingin prianya menunggu lebih
lama lagi.
“Kamu kelihatan pucat sekali. Apa hari ini pekerjaanmu
begitu berat?” Sehoon bertanya dengan cemas. Menelisik dengan seksama, wajah
dia yang menjadi perhatian.
Dia menggeleng dengan senyum tak pernah surut. “Hari ini ada
beberapa tambahan tugas, tapi bukan masalah,” sahutnya santai.
“Kalau begitu, kita pergi. Kamu pasti sudah lapar, Hee-ya,”
ajak Sehoon yang membukakan pintu mobil untuk dia yang tersenyum kaku. Begitupun
dengan tubuhnya yang tiba-tiba bersitegang. Digerakkannya kaki juga tubuh
selayaknya robot.
Sehoon berjalan memutar sebelum akhirnya duduk di kursi
kemudi di sebelah dia.
“Ada masalah, hm?” Sehoon yang merasa ada berbeda bertanya
dengan lembutnya. Pemuda itu meraih dagu dia, menatap tepat di mata.
Dia belum menjawab. Meski matanya memancarkan
kesedihan, perempuan itu menggeleng dengan senyum lemah di wajah. “Mungkin aku
sedikit lelah,” tukasnya lemah. Tidak sesemangat saat bertemu Sehoon tadi.
“Begitukah? Harusnya kamu menolak tugas tambahan kalau hal
itu malah membuatmu sakit seperti ini,” protes Sehoon.
Dia terkekeh melihat kekhawatiran di wajah lelakinya. Yang mencipta
kerut di kening Sehoon.
“Kalau kamu terus khawatir, kita tidak akan pernah sampai di
rumah. Kamu tahu, aku begitu lapar.”
Sehoon menghela napas. Kalau wanitanya sudah berkata demikian,
dia tak bisa berbuat banyak.
“Kamu tetap sekeras kepala biasanya, Hee-ya,” kata Sehoon
yang mulai menstarter mobil. Menggulirkannya ke jalanan. Tanpa sepengetahuan
Sehoon, dia yang duduk di sampingnya, memejamkan mata, menahan gejolak di dada.
“Oh, iya. Kamu ingin makan apa malam ini? Bagaimana kalau
spageti kesukaanmu.”
“Aku tidak suka spageti.” Dia menjawab secepat kilat.
Yang mendapat lirikan tak kalah cepat dari Ahn Sehoon.
“Oh, iya. Kenapa aku baru tahu?” tanya Sehoon masih
berkonsentrasi pada jalanan.
“Karena aku bukan Kim Jonghee!” sebulir air mata mengalir di
pipi dia. Sengatan listrik di kepala Sehoon membuat laki-laki tersebut
menginjak pedal rem cukup dalam. Hingga mendapat protes dari segelintir mobil
yang mengekor di belakang. Cepat-cepat Sehoon kembali menjalankan kendarannya,
meluncurkan benda tersebut ke tepian jalan.
“Aku Jang Seonhee, Sehoon-ah. Apa kamu lupa? Sampai kapan
kamu akan terus mengingat perempuan itu? Sampai kapan kamu akan mencari
sosoknya pada diriku?!” Dia, Seonhee, lepas kendali.
Dua tahun penuh berada di samping Sehoon, tak pernah
sekalipun pemuda itu memandangnya. Menatap pada dirinya.
Tangis Seonhee pecah. Tak peduli lagi jika hal itu akan
menyakiti Sehoon. Cukup sudah bagi Seonhee bersabar selama dua tahun. Setiap
Sehoon akan mulai memanggilnya Hee, Seonhee akan membiarkannya. Mengikuti alur
permainan Ahn Sehoon. Karena saat pagi menjelang, Sehoon akan lupa.
Sehoon akan melupakan hari bersama ‘Hee-nya’. Bertingkah seolah
semua tidak pernah terjadi. Bahwa yang kemarin itu hanya mimpi.
“Seharusnya kamu tidak perlu mengasihaniku. Kalau kamu
begitu mencintai Jonghee, seharusnya kamu mencarinya hingga ke ujung dunia.” Setelah
tangisnya cukup reda, Seonhee mengungkapkan apa yang selama ini terpendam di
lubuk hati. Mengusiknya hingga membuat sesak tiap kali mengingat, ada seseorang
yang lebih dulu menempati singgasana hati Sehoon. Menguasainya, menutupi
eksistensi Seonhee.
Setengah tersendat, diliriknya takut-takuk ke arah Sehoon. Laki-laki
itu mendongak, menatap langit kelabu di luar sana. Senyum tipis terukir. Dengan
lirih laki-laki itu berkata, “Seonni, aku minta maaf. Seandainya bisa, aku
ingin menggapai tempat Jonghee. Sayangnya, kini dia berada di dimensi yang
berbeda dengan kita.”
Tak tahu apa yang merasuk ke dalam jiwa Sehoon. Dengan
sebulir alir mata di pipi, pemuda itu tersenyum ke arah Seonhee.
“Kumohon, ingatkan aku lagi, bahwa eksistensi Jonghee tidak
ada lagi di dimensi ini.”
FIN
#OneDayOnePost
#ODOPBatch5
Wah keren, sarange oenni,hehehe.
BalasHapus