“Cih, mengganggu saja!”
Tiga hari sejak kembalinya mereka ke dunia nyata, Jonghee
memutuskan pergi ke Lotte World. Selain menepati janji pada Gil, perempuan itu
merasa butuh sedikit hiburan setelah banyaknya guncangan menerpa.
Belum ada setengah hari keduanya berada di sana, Jonghee
dikejutkan dengan kemunculan Sehoon yang tiba-tiba. Ada raut bahagia di wajah
laki-laki itu. Juga sedih. Dan khawatir.
Gil memisahkan diri dengan sengaja. Merasa dongkol tapi
tidak bisa berbuat apa-apa. Tak butuh hitungan detik pria itu kemudian
mengabur. Menyerpih menjadi titik-titik cahaya.
Di salah satu kafe yang sepi keduanya menepi. Cukup jauh
dari keramaian, memberikan sedikit ruang.
Sepanjang perjalanan,
bahkan sampai keduanya duduk di masing-masing kursi yang saling berseberangan,
belum ada kata yang terucap. Sapa yang menguar. Atau senyum yang ditukar. Hanya
canggung merungkupi.
“Aku baru tahu kalau kamu sudah kembali. Maaf, baru
menemuimu sekarang.” Sehoon memecah keheningan. Berharap menyingkirkan canggung
yang tiba-tiba tercipta. Padahal seharusnya, mereka tidak demikian.
Jonghee terkekeh. Mengerti dengan situasi. Sejak tadi, dia
diam menata hati. Memikirkan hal yang akan mereka bicarakan. Serta bagaimana
dia harus bersikap.
“Tidak masalah. Lagipula kamu pasti sibuk sekali.” Jonghee
tahu dia telah melakukan kesalahan. Padahal dia tidak bermaksud demikian.
Kedua tangan Sehoon yang saling menggenggam mengerat di atas
meja. Ada raut tak terbaca di wajahnya. Atensi pemuda itu kemudian berpindah
dari cincin di jemari kirinya ke jemari Jonghee di atas meja. Cincin
pemberiannya tak ada lagi di tempat.
Mengetahui arah pandang Sehoon, Jonghee mengerti.
“Ah, cincin itu,” tukas Jonghee dengan nada melengking. Dia
hanya terkejut, tidak lebih. “Gil memberikan rantai kalung, sehingga aku bisa
memjadikannya sebagai bandul.” Ditunjukkannya kalung berbandul cincin yang
menggantung di leher Jonghee.
“Aku tidak ingin dikira mengencani tunangan orang.” Perempuan
tersebut ingat kata-kata Gil sesaat sebelum keduanya berangkat ke Lotte World.
“Maaf. Aku tidak bisa mengembalikannya apalagi membuangnya.
Cincin ini … telah menyelamatkanku juga Gil. Keterikatan dengan cincin satunya,
menjadi jembatan penghubung antara dunia ini dengan dimensi lain.”
Sehoon tercekat. Bagaimana bisa Jonghee begitu menyayangi
cincin itu sedangkan pasangannya, cincin yang dulu Sehoon kenakan, sudah dia
buang ke lautan.
Melihat bagaimana Jonghee tersenyum memandangi cincin
pertunangan mereka, mengingatkan Sehoon pada kalimat di perjumpaan terakhir
keduanya.
“Selama kamu memakai cincin ini, kamu akan selalu menjadi
tunanganku.”
“Hee-ya,” lirih laki-laki tersebut.
“Ide menjadikannya bandul sungguh cemerlang. Aku tidak
pernah memikirkannya. Mungkin … kalau Gil tidak memberiku ini, aku akan dikira
tunangan orang.”
“Kim Jonghee!” entah bagaimana, Sehoon tidak suka dengan
kalimat Jonghee. Kalimat yang seolah mengisyaratkan bahwa hubungan keduanya
telah berakhir.
Memang kenyataannya demikian. Tapi, mendengarnya langsung
dari Jonghee, membuat perasaan Sehoon teriris perlahan.
“Maaf,” lirih Jonghee. Sungguh, dia tidak bermaksud berkata
demikian.
“Tidak. Seharusnya aku—“ belum genap Sehoon berucap,
bibirnya sudah dibungkam. Wajah Jonghee berada dekat dengan wajahnya. Mata Jonghee
terpejam, seolah menikmati kecupan yang berlangsung tidak lebih dari
sepersekian detik.
Besar meja yang tidak lebih dari lima puluh senti,
memudahkan Jonghee meraih wajah Sehoon. Membingkainya dengan kedua tangan, lalu
merekamnya dalam ingatan.
“Aku mengerti. Terima kasih sudah menungguku.” Walaupun pada
akhirnya, kita tetap tidak bisa bersama.
“Selamat tinggal, Sehoon-ah. Senang bisa bertemu lagi
denganmu!” pamit Jonghee dengan senyum terukir di wajah.
Perempuan itu kemudian pergi. Bersama seluruh perasaan yang
membanjir di hati. Senang, sedih, kecewa, kesal, marah. Semua bercampur menjadi
satu. Jonghee berlari. Jonghee berlari dengan air mata di pipi. Tak peduli
dengan tatapan tidak mengerti semua orang yang dia lewati. Jonghee hanya ingin
pergi. Jonghee hanya ingin terus berlari. Agar perasaannya terkikis, kemudian
mati.
Salahnya berlari sambil menangis. Salahnya berlari tanpa
peduli sekitar. Saat tubuhnya menabrak tubuh lain, Jonghee hanya menunduk sambil
terus menggumamkan maaf. Orang tersebut menyentak pergelangan tangan Jonghee,
membuat si empunya mendongakkan kepala. Di sana, Gil berdiri dengan wajah
angkuh seperti biasanya.
“Gil!” tangis Jonghee pecah. Gil membenamkan wajah Jonghee
di dadanya. Laki-laki itu sudah tahu akan begini jadinya. Tiga hari berlalu
sejak kabar tersebut sampai di telinga Jonghee. Selama itu juga, perempuan
tersebut memendam perih di hati.
Gil tidak bersuara. Dia biarkan saja Jonghee menangis
sepuasnya. Sesekali, tangannya yang memeluk Jonghee menepuk-nepuk pelan
punggung perempuan tersebut. Atau mengusap belakang kepala. Apa yang dirasakan
Jonghee, Gil mengerti. Mungkin, salah satu alasan, laki-laki itu menerima
ajakan Jonghee untuk pergi ke taman bermain. Agar perempuan itu mau meluapkan
semua yang menyesakkan hati.
Setelah dipikir lagi, Jonghee bersyukur Sehoon menyusulnya.
Mungkin, sekarang saat yang pas mengucapkan perpisahan. Sudah seharusnya
seperti ini. Jonghee harus merelakan Sehoon, memfokuskan diri memulai
pencarian.
Dengan begini, tidak ada lagi beban di hati Jonghee.
FIN
#OneDayOnePost
#ODOPBatch5
Woalaaahhh~ XD
Nggak nyangka bakal jadi cerita berseri begini, hihi~ ^^
Nggak nyangka bakal jadi cerita berseri begini, hihi~ ^^
Awalnya iseng-iseng, tau-tau jadi begini. Biarpun banyak
lubang yang harus ditambal. Tapi bersyukur bisa bawa pair Sehoon-Jonghee
sampai di titik ini.
Hm, sebenarnya, agak kurang puas sama karakterisasi Jonghee di sini. Labil, wkwk. Tapi paling suka sama Gil~ ^^
Ini fanfic?
BalasHapusBukan, uncle~ 😅
HapusIni korea ya kak?
BalasHapusSettingnya, iya, hehe~ ^^a
HapusBtw, makasih udah mampir~ :D
Dilan ala Korea.. udah nunggu, tapi ternyata ngga bersama
BalasHapusWahh koryaa :) :D
BalasHapus