Wejangan Willis

“Sepertinya kemarin aku dengar ada yang berkoar-koar jadi penulis.” Willis bertanya setengah berseru di ruang tengah. Yang merupakan gayanya sendiri.

Objek yang menyita atensi Willis sibuk tiduran di sofa dengan ponsel di tangan. Posisinya horizontal. Curiga pemegang ponsel sedang main game. Pura-pura tidak mendengar suara partner rumahnya.

Iseng saja Willis menendang ponsel yang teracung di udara.

“Hei!” protes Diane yang secepat kilat mendudukan tubuh. Mengabaikan Willis, gadis itu malah sibuk mencari keberadaan ponsel yang terlempar entah kemana. Semoga saja tidak pecah, retak dan lain sebagainya, doa Diane.

Bukan Willis namanya kalau bertindak tanpa perhitungan. Ponsel Diane mulus mendarat di sofa di samping sofa yang ditiduri Diane. Gadis tersebut berkaca-kaca menemukan ponselnya baik-baik saja.

Wajahnya berubah muram ketika lockscreen digeser.

What the—“

Sebelum Diane sukses berkata kasar, sebuah buku tebal mendarat di kepalanya. Siapa lagi pelakunya jika bukan Willis.

Blogmu masih kosong. Berapa hari kamu nggak posting?” bukan gaya Willis berbasa-basi. Yang pertama itu khilaf.

Sambil mengusap-usap kepala, Diane mendelik tidak suka ke arah Willis. Belum mencerna dengan baik pertanyaan pemuda tersebut. Dia masih kesal, btw. Ponselnya yang ditendang sembarangan lalu gamenya yang berakhir begitu saja.

“Dua hari, sepertinya. Tiga hari dengan hari ini,” jawab Diane setelah menerima tatapan tajam khas seorang Willis.

Kembali, buku setebal lima senti yang dipegang Willis, mendarat di kepala Diane. Kali ini lebih kesar dari yang sebelumnya. Membuat gadis itu berteriak, pun menutupi kepalanya.

“Niat tidak, sih?” tanya Willis dingin.

Diane menunduk. Duduk di sofa dengan Willis berdiri tegak di hadapannya, sudah seperti seorang guru yang sedang memarahi siswanya.

“Habis, bagaimana, yah? Aku nggak ada ide buat nulis,” cicit Diane.

“Memangnya penting yah?”

“Yah, kalau nggak ada ide. Tulisannya jadi berasa ampas. Nggak guna.” Diane mendongak. Sedikit memekik. Dia kesal, Willis tidak tahu apa yang dia rasakan.

“Memangnya tujuan nulis kamu itu apa? Kalau nggak nulis-nulis, yah percuma. Mimpi aja terus jadi penulis. Sebagus apapun ide kamu, kalau malas nulis, yah percuma.” Satu pukulan buku lagi di kepala Diane. Setelah itu Willis berlalu.

Cukuplah, wejangannya hari ini buat gadis keras kepala macam Diane. Masa bodoh kalau gadis itu mau menerimanya atau tidak.

FIN

#OnedayOnePost
#ODOPBatch5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...