Karna tidak pernah meminta terlahir jadi anak haram, anak di
luar nikah.
Karna juga tidak pernah mengira, Ibunda akan menjaga dan
membesarkannya sedemian rupa.
Meski Ibunda menderita banyak luka, Karna tetap dipeluknya,
ditimangnya, dilimpahinya dengan kasih sayang.
Karena Ibunda, Karna tidak pernah mau menjadi anak yang
nakal, anak yang tidak bisa diandalkan, anak yang tidak bisa membanggakan kedua
orang tuanya.
Hingga ... semua penderitaan itu tidak tertahankan lagi.
Dua puluh tahun masa hidup Karna di dunia, baru sekali ini
dia melihat Ayah tirinya menyiksa Ibunda. Mencambuk dengan sabuk, memaki dengan
serangkaian kata yang tak patut ditiru, juga membuat Ibunda menangis sedemikian
rupa. Semua itu karena dirinya. Ada nama Karna terselip di antara makian Sang
Ayah.
Dengan beberapa lebam menghias punggung juga lengannya,
Karna berhasil membebaskan Ibunda. Memeluknya sepanjang malam, mengobati
luka-lukanya, lalu memberinya senyuman penenang. Seolah berkata, semua
baik-baik saja.
Pada malam-malam selanjutnya, saat Ayah pulang mabuk, Ibunda
kembali menjadi sasaran. Kedatangan Karna mengobarkan semangat pertikaian di
mata Sang Ayah. Tak segan lelaki paruh baya itu menggunakan sapu, payung, atau
benda apa saja yang dia temukan untuk memukul Karna.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Bawa sial! Anak haram! Anak
setan! Enyah kamu dari hidup saya!”
Belakangan Karna tahu, gunjingan mengenai dirinya telah
sampai ke telinga investor perusahaan Sang Ayah. Membuat mereka enggan menanam
saham dengan dalih, keberadaan Karna akan memberikan kesialan. Merugikan pasar.
Padahal Karna tidak tahu menahu soal perusahaan.
Sembari diobati Arjuna, Sang Adik tercinta, Karna merenungi
kejadian yang akhir-akhir ini terjadi. Tentang kemarahan Ayah, penderitaan
Ibunda, tangis adik-adiknya saat Ayah mulai mengamuk.
Karna mulai berpikir ... sebaiknya dia menghilang saja.
“De, bentar lagi kamu lulus SMA, yah?” tanya Karna yang
serupa bisikan.
“Iya, bang. Tiga bulanan lagi,” jawab Arjuna yang
konsentrasinya sedang terbagi dengan luka di dahi Karna.
“Udah nyari tempat kuliah?”
“Udah, bang.”
“Jagain Bunda yah, De.”
Arjuna tengah membereskan perlengkapan P3K tertegun mendengar
pertanyaan Sang Kakak. Meski berbeda bapak, Arjuna tidak pernah merasa Karna
tidak menyayanginya.
“Maksudnya?”
Waktu itu, Karna menunduk. Jadi Arjuna tidak dapat membaca
raut Karna. Yang Arjuna tahu, suara Karna bergetar saat mengatakan kalimat
selanjutnya.
“Jagain Bunda kalo ayah abis minum, jagain adek-adek kamu
biar nggak niru ayah. Kalo bisa, jauhin ayah dari minuman yang bisa ngerusak
kesehatannya. Maaf, abang nggak bisa ngelakuin itu semua.”
Arjuna ingat, setelah berkata demikian Karna beranjak ke
tempat tidur. Dengan posisi telengkup, pemuda tersebut terbang ke alam mimpi.
Arjuna pikir, mungkin pukulan Ayah cukup kencang hingga mengenai kepala
kakaknya sampai Karna berkata yang tidak-tidak.
Sisa malam itu, rumah sepi seakan tak pernah ada caci maki
yang diteriakan, barang yang dilemparkan, atau jerit tangis kesakitan Bunda
juga Karna. Tidak ada juga isak kecil kembar Nakula-Sadewa.
Keesokan paginya, Arjuna tidak menemukan Karna dimanapun
juga. Tidak di kamarnya, tidak di kamar bunda, tidak juga di perpustakaan
keluarga.
Seluruh pakaian Karna juga tidak ada di lemarinya. Barang-barang
di atas meja juga raib begitu saja.
Anehnya, Bunda tak membicarakan Karna sama sekali. Tidak di
depan Ayah, tidak saat Ayah pergi bekerja.
Eksistensi Karna, seperti tak pernah ada.
Tiap kali bibir Arjuna bergerak untuk menanyakan Karna pada
Ibunda, tatapan dingin serta raut sekaku patung yang dia terima. Si kembar
Nakula-Sadewa yang baru berusia kelas lima takut untuk berbicara.
Arjuna tahu bagaimana Ayah tidak menginginkan keberadaan Karna.
Arjuna tahu malam-malam mengerikan mereka disebabkan oleh Karna.
Tapi, bertingkah seolah Karna tidak pernah ada, keterlaluan
itu namanya.
Arjuna benci dengan ayahnya yang selalu mengamuk setelah
minum.
Arjuna benci melihat tangisan Ibunda dibawah siksaan ayah. Tapi
dia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat hatinya berteriak untuk menolong Ibunda,
Karna sudah lebih dulu bertindak. Dia menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk
Ibunda. Menerima pukulan-pukulan ayah, menelan caci maki laki-laki paruh baya
tersebut.
Maka, Arjuna tidak keberatan mengobati luka-luka sang kakak.
Karena dia terlalu pengecut untuk melawan ayahnya.
Tapi, apakah dengan menghilangnya Karna semua masalah
berakhir begitu saja?
Arjuna rasa tidak.
Karena, kepergian Karna membawa serta kebahagiaan kecil yang
pernah dirasakan keluarganya.
Tidak ada lagi Ibunda yang tersenyum, tidak ada lagi Ayah
yang akan melontarkan lelucon garing. Tidak ada pula yang mengatainya cowok
cupu karena belum pernah pacaran sama sekali.
Tidak ada lagi kebahagiaan yang tersisa untuk keluarga
kecilnya.
FIN
#OneDayOnePost
#ODOPBatch5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar