Kita dan Jogja

Tahun berlalu, Mutia kembali ke kota yang pernah dia kunjungi semasa SMA dalam rangka study tour. Keduanya matanya menelaah sekitar. Tidak banyak yang berubah, menurutnya.

Senyum terkembang, kamera di tangan terangkat ke depan wajah. Mengabadikan tiap sudut kota yang entah bagaimana, Mutia cintai diam-diam. Mungkin sebagian besar efek kenangan yang tidak akan dia lupakan.


Kala senja di hari terakhir kunjungan, setiap siswa dibebaskan untuk berjalan-jalan atau sekedar mencari oleh-oleh untuk orang-orang terkasih di rumah. Tidak banyak teman sekelas yang dekat dengan Mutia. Hanya Karina yang notebenenya satu bangku dengan Mutia. Sayangnya, Karina sudah lebih dulu pergi, bersama sang kekasih. Menciptakan kenangan mereka di Jogja.

Memang tidak afdol rasanya jika kita tidak merekam dengan seksama setiap sudut kota Jogja dalam ingatan. Tidak hanya sbentuk foto, tapi juga esensi yang hanya dapat dirasakan dengan berjalan kaki. Merasakan angin yang berhembus, suasana yang menyelimuti, sampai debu yang hinggap di dedaunan. Mutia tidak tahu dia punya obsesi tersembunyi soal Jogja.

Seperti yang banyak dikatakan orang, Jogja punya sihir untuk membuat orang yang mengunjunginya betah berlama-lama di sana. Bahkan ada tarikan untuk kembali saat kita meninggalkan kota.

Kaki-kaki Mutia menjejak di jalanan Malioboro, jaraknya sekitar seratus meter dari hotel yang di sewa sekolahnya, ketika sebuah sapaan mengejutkan datang dari sisi kanan tubuhnya.

“Sendiri aja, mana Karina?” kadang Mutia berpikir kalau Darul ini punya kemampuan teleport, atau bakat menghilang seperti jin. Karena keberadaannya selalu tidak terduga. Atau ... Mutianya saja yang kurang peka.

“Biasa, dia udah ngilang aja.” Mutia tertawa. Sesuatu yang jarang dia lakukan di depan Darul.

Pemuda itu tertegun sejenak, lantas ikut tertawa kecil.

“Guntur juga sama, ‘kan?” Mutia kembali bersuara.

“Ya, gitu deh. Biasalah, namanya juga orang pacaran. Temen jadi di nomor duain.” Darul tertawa lebih lahak dari yang sebelumnya.

“Kapan dong kamu mau pacaran sama aku?” sepertinya Darul salah melayangkan pertanyaan. Karena setelahnya, Mutia diam seribu bahasa. Posisinya yang berada di samping Darul, membuat pemuda itu sulit membaca raut Mutia.

Darul tertawa kering untuk menutupi kegugupannya. “Bercanda, Mut. Aku—“

“Sepedaan, yuk, Rul?” Mutia tiba-tiba saja mengajukan permintaan. Menghadap 

Darul, pemuda tersebut dapat melihat raut bahagia Mutia. Sesuatu yang tidak mungkin ada kalau saja Mutia marah padanya.

Mungkin memang mood Mutia sedang bagus. Dan Darul tidak mau merusaknya. Kalaupun saat itu menjadi waktu terakhir mereka bisa bahagia berdua, maka Darul akan melakukan apa saja.

Tersenyum lebar lalu mengangguk mantap, Darul mendapat pemandangan yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup.

Sinar senja kota Jogja, juga senyum indah Mutia.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan.

Segera, keduanya mencari tempat penyewaan sepeda di sekitar Malioboro. Berbekal google maps di ponsel, Darul dan Mutia bersepeda mengelilingi Malioboro. Entah Darul yang bermimpi, atau Mutia benar-benar menyerah dengan perasaannya. Gadis itu meminta Darul untuk memboncengnya. Yang kalau Darul pikir-pikir, mereka sudah seperti sepasang kekasih.

Berboncengan mengelilingi kota, diselingi tawa juga canda, di kala senja.

Sudah semacam untaian puisi yang menjadi nyata. Kalaupun ini mimpi, Darul tidak ingin terbangun dari mimpi tersebut. Segala sesuatunya terlalu indah untuk dilupakan saat bangun dari tidur.

Mutia tidak membenci Darul. Dia juga tidak menyangkal ketertarikannya pada pemuda tersebut. Tapi jika mencinta semudah menyukai sesuatu, mungkin itu lain cerita.

Mutia tidak mau berkomitmen dengan sesuatu yang kosong. Dia tidak mau, Darul pergi dengan dalih sudah tidak cinta. Apakah cinta itu sebegitu murahnya? Diumbar pada siapa saja, tumbuh di mana saja, diikat, kemudian diurai dengan mudah.

Mutia memang pemuja cinta dengan segala keagungannya. Tidak heran jika Mutia tidak mudah jatuh cinta. Dia ingin, perasaan tersebut hanya tumbuh dan berkembang untuk orang yang akan menjadi masa depannya. Yang mana cinta itu tidak akan pernah padam. Melainkan terus berkembang seiring waktu kian menggerus usia.

Apa yang di lakukannya dengan Darul di hari itu, dia anggap sebagai penghargaan untuk pemuda tersebut yang tidak pernah menyerah meski Mutia terus menolaknya. Pada saat itu, Mutia belum benar-benar menyayanginya, mencintainya setulus hati. Kalaupun perasaan itu pernah tumbuh meski sebesar tunas, maka Mutia sudah menjejalkannya lagi ke dasar. Menguburnya hingga tak pernah lagi nampak.

Mutia belia terlalu takut. Takut menempatkan perasaan di persinggahan yang salah. Lebih baik nanti, saat dia sudah mengerti dengan dunia.

“Jalannya aja yang di foto, akunya enggak?”

Darul dengan kemampuan jinnya yang muncul secara tiba-tiba, tidak pernah Mutia mengerti.

Tahun-tahun berlalu dan tidak banyak yang berubah dari seorang Darul. Masih dengan senyum yang sama dan sorot mata yang sama. Setelah mendapati entitas yang selalu Mutia rindukan, perempuan tersebut mengangkat kamera, mengarahkannya pada Darul. Satu gambar tertangkap dengan gradasi warna kota Jogja. Dengan Darul berada di dalamnya, sempurna sudah gambar tersebut.

“Coba sini, aku lihat hasilnya.” Menghampiri yang terkasih dengan segenap antusiasme yang tidak pernah berkurang, Darul mengambil alih kamera di tangan Mutia.

“Lah, foto kamunya mana? Kenapa jalan doang?” protes Darul.

“Aku maunya foto sama kamu,” sahut Mutia yang berdiri begitu dekat di samping Darul.

Mendongak, Darul langsung menemukan wajah merona Mutia. “Ngomong dong kalau mau foto after wedding, ‘kan aku bisa dandan dulu biar cakep.” Mengakhiri kalimatnya, sekilas Darul mengecup sisi kepala Mutia. Membuat perempuan itu kian merona. Apalagi dengan kalimat Darul yang tidak biasa.

Iya, setelah bertahun-tahun berlalu, dengan kesabaran dan kegigihan, akhirnya Darul berhasil mendapatkan Mutia. Meminangnya, menjadikannya ratu di kerajaannya. Dan berjanji, akan menjaga Mutia sampai maut menjemput.

Tapi bukan Mutia namanya kalau tidak mau jujur dengan perasaannya. Setelah kecupan mendarat di sisi kepala, Mutia malah memukul bahu Darul dengan mesra. Membuat laki-laki itu tertawa.

Mutia tetap Mutia. Seorang gadis yang dikenalnya sewaktu SMA. Sampai mereka menikah, perempuan itu tetap sama. Dan Darul semakin cinta.

FIN

#OneDayOnePost

#ODOPBatch5

2 komentar:

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...