Eksistensi

“Cepat Altria!” seru Shinji yang lebih dulu berlari di depan perempuan yang diserukannya.

Altria, dengan seragam sekolah lengkap masih melekat di badan, mencoba mengimbangi langkah Shinji yang notabenenya laki-laki. Meski paru-parunya menjerit minta diisi, Altria tidak perduli. Teman terdekatnya, Shirou, sedang membutuhkan bantuan.
Sekolah di mana Altria yang menjadi ketua OSIS-nya, sedang mengadakan festival tahunan di halaman di samping kanan gedung sekolah. Menurut keterangan Shinji, Shirou yang jadi salah satu partisipan yang memeriahkan acara, ketimpahan bencana.

Tepat di depan toko yang menjual berbagai jenis topeng, Shinji berhenti.

“Ada apa? Dimana Shirou?” dengan napas terengah, Altria memerhatikan punggung Shinji.

“Aku menepati janjiku. Aku sudah membawanya.” Itu suara Shinji. Namun tentu saja, pernyataannya tidak ditunjukkan buat Altria.

“Kerja bagus, Matou! Imbalanmu sudah menunggu.” jelas Altria mengenal suara ini. Sebelum suara Altria mengudara, sebuah tangan sudah mencekal pergelangan tangannya. Sementara Matou Shinji pergi begitu saja.

“Apa yang kamu lakukan? Di mana Shirou?” seru Altria yang mengundang perhatian orang yang berlalu lalang.

Pemuda yang mencekal lengan Altria, meraih dagu perempuan tersebut lantas membuat keduanya saling pandang. Sosok pemuda seusianya yang lebih tinggi dengan rambut sewarna emas, menatap Altria dengan lekat. Membuat gadis itu tercekat. Jenis tatapan yang akan membuat jantung seorang perempuan berdebar cepat. Tidak terkecuali Altria yang juga perempuan. Meski sesungguhnya dia membenci sosok yang kerap menganggu kesehariannya.

“Jadi, Matou pengecut itu menggunakan Shirou untuk memancingmu?” tukas Gilgamesh—pemuda yang menguntit Altria sejak pertama mereka berjumpa. 

“Menarik,” sambung pemuda tersebut sembari mengusung senyum mencurigakan.

Dengan tangannya yang bebas, Altria menepis tangan Gilgamesh yang berada didagunya. “Jangan main-main, Gil. Katakan saja di mana, Shirou?”

“Kalau kamu sebegitu penasarannya, temani aku. Bukankah terdengar hebat? Ketua OSIS sedang kencan dengan pemuda paling tampan se-Jepang.” Masih menjegal sebelah lengan Altria, Gilgamesh menyisir rambut ke belakang dengan sebelah tangannya yang lain. Yang mana tindakan itu bakal mendapat pekik bahagia dari para pemujanya.

“Dalam mimpimu!” desis Altria berbahaya.

“Dari sekian banyak hari di mana aku terus memaksamu, bisakah malam ini kamu mengalah saja?”

Gilgamesh boleh saja memiliki tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata, congkak, menyebalkan, dan semua sifat yang tidak Altria sukai. Tapi, bagaimana pemuda itu memandangnya malam ini, yang sarat akan permohonan, frustasi, juga gurat pedih yang tertutup sempurna—yang mana mustahil sekali di miliki oleh seorang Gilgamesh, Altria menyerah. Perempuan itu memutus kontak dengan memalingkan wajah. Tidak ingin terbaca oleh pemuda yang mencengkramnya.

“Gadis pintar, akan kupastikan malam ini hanya milik kita berdua!” Gilgamesh dan kecongkakkannya adalah satu paket. Menyesal Altria mengasihaninya sedetik yang lalu. Seruan Gilgamesh menarik perhatian banyak orang yang mulai berbisik-bisik. Besok, setelah festival berakhir, sudah dapat Altria bayangkan apa yang akan orang-orang gunjingkan.

Gilgamesh tidak lagi mencengkram pergelangan tangan Altria. Melainkan menggenggamnya, mengisi kekosongan di antara jemari perempuan tersebut dengan jemarinya. Tindakan itu membuat Altria mendongak. Yang lagi-lagi mendapat penyesalan setelahnya. Gilgamesh yang sedang tersenyum, bukan sesuatu yang bagus buat kesehatan jantung Altria.

Come, my queen.

Gilgamesh tidak pernah absen memerlakukan Altria dengan sangat istimewa dalam setiap kesempatan. Dan Altria sudah sangat kebal dengan hal itu. Bayangkan saja, dua tahun mendapat perlakuan demikian, membuat Altria terbiasa. Tiap kali Gilgamesh melakukan hal-hal yang akan mendapat pekik kegirangan setiap perempuan, Altria tak lagi merasa degup yang membuatnya gugup.

Namun, malam ini, saat Gilgamesh berkata demikian dengan senyum tampan—Altria mengakui kalau Gilgamesh memang tampan, Altria tidak bisa berkata-kata. Apalagi berkilah kalau dia tidak merona. Segera setelah keduanya meluncur di jalanan yang membelah beragam stand yang berjejer di kanan kiri jalan, Altria memalingkan wajah. Tidak ingin terus menerus mengamati profil Gilgamesh yang sering mengundang kagum sebagian besar perempuan.

Sudah dapat ditebak bagaimana sepanjang perjalanan hanya Gilgamesh yang banyak berceloteh. Altria hanya akan menyahut sesekali, secukupnya. Dia tidak pernah mengatakan yang tidak perlu. Kadang berseru cukup kencang saat Gilgamesh melakukan hal-hal di luar nalar. Mengejutkannya dengan makanan menyeramkan—cumi-cumi yang gosong, atau merangkulnya secara tiba-tiba. Yang tentu saja, Altria tidak suka.

“Apa menurutmu ini tidak kekanak-kanakan?” tanya Altria setelah menghela napas memandangi alat mirip saringan penangkap ikan berukuran mini.

“Menjadi anak kecil tidak seburuk yang kamu kira. Setidaknya, kita bisa melupakan sejenak masalah yang ada. Karena seorang anak kecil hanya tahu bagaimana bahagia.”

Altria tidak mengerti. Gilgamesh yang berkata sebijak itu menurutnya bukan Gilgamesh. Altria mulai berpikir kalau Gilgamesh sedang kerasukan makhluk halus, atau sedang mabuk. Makanya berkata yang tidak-tidak.

Tapi, saat melihat bagaimana seriusnya Gilgamesh menekuri ember besar yang menampung puluhan ikan kecil berwarna kuning, membuat Altria seketika bungkam. Tidak pernah dia melihat Gilgamesh seserius sekarang. Dia lebih sering melihat wajah jahil serta meremehkan Gilgamesh.

“Dapat!” Lamunan Altria terinterupsi pekikan tidak biasa seorang Gilgamesh. “Hey! “ juga protes pemuda tersebut saat jaring mungil yang memerangkap ikannya robek, hingga ikan tersebut terbebas kemudian kembali berenang dengan bebas di dalam ember.

“Aku ingin jaringnya lagi!” wajah galak Gilgamesh mengejutkan penjaga stand yang mengangsurkan beberapa jaring dengan takut.

Hal itu mencipta sebuah senyum kecil di wajah Altria yang tidak disadari Gilgamesh. Pandangan Altria tertumbuk pada tangan mereka yang saling menaut. Gilgamesh tidak pernah melepaskannya barang sedetik saja. Sepertinya dia terlalu takut Altria tiba-tiba lari.

Keterdiaman Altria lagi-lagi terinterupsi erangan frustasi Gilgamesh. Sudah banyak jaring yang pemuda itu gunakan untuk menangkap ikan. Namun, belum ada satupun ikan yang terperangkap.

“Tidak mungkin! Pasti kalian sudah melubangi jaringnya, ‘kan? Makanya tidak ada satupun ikan yang bisa kutangkap!” mendengar seruan galak Gilgamesh, membuat penjaga stand kian mengkerut di tempat. Ingin menyanggah namun kelewat takut dengan aura mengintimidasi seorang Gilgamesh.

Remasan tangan dari Altria mengalihkan perhatian pemuda tersebut. Di sampingnya, perempuan itu mengangsurkan ikan yang berhasil ditangkapnya. Dengan tangan kiri lagi.

Gengsi, Gilgamesh memalingkan wajah. Sekilas, Altria melihat ada rona merah di pipinya.

“Bungkus, itu.” Titah Gilgamesh yang segera diamini oleh penjaga stand dengan membawakan plastik bening ke hadapan Altria.

Selesai dengan stand ikan, keduanya kembali berjalan. Di lengan kirinya, Altria membawa ikan mungil berwarna kuning dalam plastik.

“Ini, bukankah tadi kamu sangat menginginkannya.” Lagi, Altria mengangsurkan ikan dalam bungkusan ke hadapan Gilgamesh.

Pemuda tersebut terlihat diam sejak mereka meninggalkan stand. Padahal, Altria yakin, sebelumnya Gilgamesh bersemangat sekali saat menangkap ikan tadi.

Sejujurnya, Gilgamesh ingin menangkap sendiri ikan tadi lalu memberikannya pada Altria sebagai bukti cinta juga perjuangannya. Sialnya, melihat bagaimana mudahnya Altria menangkap ikan—sedangkan dia harus berjuang mati-matian (oke, ini berlebihan), membuat Gilgamesh dongkol setengah mati.

“Sudah tidak minat,” sahut Gilgamesh sembari membuang pandang pada jalanan.

“Kamu ini aneh, tadi kamu begitu menginginkannya, sekarang kamu malah tidak perduli. Jangan-jangan kamu memperlakukan hal yang sama pada semua hal?”

Sepertinya perkataan Altria memukul telak Gilgamesh. Karena tiba-tiba saja pemuda itu menghentikan langkahnya. Menoleh pada Altria yang kini tengah memandanginya dengan tatapan bingung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan pemuda tersebut. Ada beragam sanggahan yang ingin diucapkan. Namun bibirnya terasa beku, mulutnya terasa kelu, Gilgmesh membisu.

Kemudian, sudut-sudut bibirnya ditarik. Tangannya yang bebas, meraih wajah Altria. Menyapu lembut pipi perempuan tersebut dengan ibu jarinya.

“Hanya orang yang pantas, yang tidak akan menerima perlakuan demikian.” Gilgamesh mengatakannya dengan menatap tepat ke mata Altria. Menyalurkan semua cinta yang dimilikinya.

Kata orang bijak, mata seseorang mampu mengatakan segalanya. Kebohongan bisa dibuktikan hanya dengan melihat mata. Mata juga dapat menyorotkan kejujuran serta ketulusan. Dan saat ini, Altria membuktikan hal itu. Melalui mata yang menyita perhatiannya, Altria tahu, hanya ada dia yang menjadi poros bagi dunia Gilgamesh.

“Aku ingin kamu menyimpan ikan itu, untukku.” Setelah berkata demikian, Gilgamesh mengusak puncak kepala Altria kemudian kembali mengayun langkah. Mengabaikan Altria dengan dunia yang berpusing di sekitarnya. Altria baru tahu, kalau kenyataan semembingungkan itu.

Langkah keduanya kembali terhenti saat sebuah ledakan di angkasa menyita banyak perhatian. Rangkaian cahaya berwarna-warni menghias kelamnya malam di langit sana. Silih berganti, tanpa henti. Pesta kembang api yang menjadi bintang festival telah dimulai. Dan Altria di sana, menikmatinya dengan seseorang yang menggenggam tangannya sepanjang malam.

Keesokan harinya, saat kegiatan sekolah berjalan dengan semestinya, saat orang-orang dengan bersemangat menceritakan pesta kembang api semalam, Altria memasuki ruang kelasnya. Di sana ada Shirou yang sedang mengobrol bersama teman lelakinya.

“Oy, Altria, apa semalam kamu melihatnya? Kembang apinya keren sekali, sayang sekali kamu tidak ikut melihatnya bersama kami,” celoteh Shirou menyambut pagi Altria.

“Kami?” Altria tidak mengerti.

“Apa kamu lupa? Kelas kita menyiapkan tempat terbaik untuk menonton kembang api. Tohsaka bahkan menyiapkan banyak makanan untuk kita,” jelas Shirou diangguki lima anak laki-laki yang mengelilinginya.

“Begitu, yah,” sahut Altria.

“Ada apa, Altria? Apa Gilgamesh menganggumu lagi pagi ini?” selidik Shirou setengah khawatir.

Altria terhenyak. Pantas saja ada yang aneh dengan paginya hari ini. Tidak ada suara Gilgamesh yang akan menyambutnya di gerbang sekolah. Mengawalnya dengan celoteh tidak penting sampai ke kelas. Sampai Shirou menegurnya, sampai Gilgamesh disibukkan anak perempuan yang memujanya.

“Gil ... gamesh,” gumam Altria.

Shirou tak lagi menaruh perhatian pada Altria. Pemuda itu disibukkan dengan beragam percakapan khas laki-laki. Altria berjalan lesu ke bangkunya. Memandang ke langit di pagi hari setelah Altria duduk.

Seharusnya Altria berbahagia. Tidak ada lagi yang menganggunya. Altria bisa menjalani harinya dengan damai.

Seharusnya.

Tapi kenyataanya tidak demikian.

Menghilangnya Gilgamesh selama sepuluh hari, meninggalkan lubang yang tidak bisa di definisikan Altria.

Tanpa dia sadari, Altria terbiasa dengan eksistensi Gilgamesh di sekitarnya. Ikan kecil yang ditangkapnya tempo hari, tak mengurangi kerinduan Altria pada pemuda tersebut.

“Apa kamu merindukanku?” siluet Gilgamesh menjelma, bersuara. Duduk di hadapan Altria yang sedang memandangi ikan dalam toples di atas meja. Di ruangan yang jauh dari keramaian, di ruang OSIS.

Dalam sorot cahaya sore hari, bayangan Gilgamesh yang menopang kepala dengan sebelah tangan terlalu realistik untuk diabaikan.

“Kamu tahu, aku benar-benar merindukanmu,” sambungnya.

“Aku tidak merindukanmu,” tukas Altria yang mengundang tawa Gilgamesh. Tawa yang tidak pernah Altria dengar dalam sepuluh hari terakhir.

“Jawaban khas seorang Altria.” Bayangan tersebut kembali bersuara. Selayaknya bayangan, saat Altria berkedip, eksistensinya melebur bersama cahaya mentari yang kian menipis. Sesaat sebelum menghilang, Gilgamesh tersenyum.  Senyum yang terukir saat menyapu lembut pipi Altria.

“Tapi aku sangat merindukanmu.” Kalimat itu akhirnya terucap. Bersamaan dengan setitik air mata yang mengalir di pipi. Bagian yang sama, yang di sapu Gilgamesh dengan ibu jarinya di malam festival.

FIN


Oke, jadi mau cerita dulu. Ini fanfic? Iya. Tokohnya diambil dari serial anime Fate. Ini request-an teman, jadi sekalian jadi bahan buat ODOP saja.

Gilgamesh sama Altria/Arthur Pendragon ini legenda dunia. Gilgamesh raja Uruk yang disegani, King of Heroes, orang-orang memanggilnya. Sedangkan Altria Pendragon, aslinya Arthur Pendragon. Yang sudah diketahui semua orang, dia raja Camelot, King of Knight, yang memimpin para ksatria meja bundar. Tapi, di anime ini karakternya di buat jadi perempuan. Mungkin biar greget. I dunno.

Tapi saya suka mereka, hahaha.

Sekian ceritanya. 

#OneDayOnePost
#ODOPBatch5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...