“Cepat Altria!” seru Shinji yang lebih dulu berlari di depan
perempuan yang diserukannya.
Altria, dengan seragam sekolah lengkap masih melekat di
badan, mencoba mengimbangi langkah Shinji yang notabenenya laki-laki. Meski
paru-parunya menjerit minta diisi, Altria tidak perduli. Teman terdekatnya,
Shirou, sedang membutuhkan bantuan.
Tepat di depan toko yang menjual berbagai jenis topeng,
Shinji berhenti.
“Ada apa? Dimana Shirou?” dengan napas terengah, Altria
memerhatikan punggung Shinji.
“Aku menepati janjiku. Aku sudah membawanya.” Itu suara
Shinji. Namun tentu saja, pernyataannya tidak ditunjukkan buat Altria.
“Kerja bagus, Matou! Imbalanmu sudah menunggu.” jelas Altria
mengenal suara ini. Sebelum suara Altria mengudara, sebuah tangan sudah
mencekal pergelangan tangannya. Sementara Matou Shinji pergi begitu saja.
“Apa yang kamu lakukan? Di mana Shirou?” seru Altria yang
mengundang perhatian orang yang berlalu lalang.
Pemuda yang mencekal lengan Altria, meraih dagu perempuan
tersebut lantas membuat keduanya saling pandang. Sosok pemuda seusianya yang
lebih tinggi dengan rambut sewarna emas, menatap Altria dengan lekat. Membuat gadis
itu tercekat. Jenis tatapan yang akan membuat jantung seorang perempuan
berdebar cepat. Tidak terkecuali Altria yang juga perempuan. Meski sesungguhnya
dia membenci sosok yang kerap menganggu kesehariannya.
“Jadi, Matou pengecut itu menggunakan Shirou untuk
memancingmu?” tukas Gilgamesh—pemuda yang menguntit Altria sejak pertama mereka
berjumpa.
“Menarik,” sambung pemuda tersebut sembari mengusung senyum
mencurigakan.
Dengan tangannya yang bebas, Altria menepis tangan Gilgamesh
yang berada didagunya. “Jangan main-main, Gil. Katakan saja di mana, Shirou?”
“Kalau kamu sebegitu penasarannya, temani aku. Bukankah
terdengar hebat? Ketua OSIS sedang kencan dengan pemuda paling tampan
se-Jepang.” Masih menjegal sebelah lengan Altria, Gilgamesh menyisir rambut ke
belakang dengan sebelah tangannya yang lain. Yang mana tindakan itu bakal
mendapat pekik bahagia dari para pemujanya.
“Dalam mimpimu!” desis Altria berbahaya.
“Dari sekian banyak hari di mana aku terus memaksamu,
bisakah malam ini kamu mengalah saja?”
Gilgamesh boleh saja memiliki tingkat kepercayaan diri di
atas rata-rata, congkak, menyebalkan, dan semua sifat yang tidak Altria sukai.
Tapi, bagaimana pemuda itu memandangnya malam ini, yang sarat akan permohonan,
frustasi, juga gurat pedih yang tertutup sempurna—yang mana mustahil sekali di
miliki oleh seorang Gilgamesh, Altria menyerah. Perempuan itu memutus kontak
dengan memalingkan wajah. Tidak ingin terbaca oleh pemuda yang mencengkramnya.
“Gadis pintar, akan kupastikan malam ini hanya milik kita
berdua!” Gilgamesh dan kecongkakkannya adalah satu paket. Menyesal Altria
mengasihaninya sedetik yang lalu. Seruan Gilgamesh menarik perhatian banyak
orang yang mulai berbisik-bisik. Besok, setelah festival berakhir, sudah dapat
Altria bayangkan apa yang akan orang-orang gunjingkan.
Gilgamesh tidak lagi mencengkram pergelangan tangan Altria. Melainkan
menggenggamnya, mengisi kekosongan di antara jemari perempuan tersebut dengan
jemarinya. Tindakan itu membuat Altria mendongak. Yang lagi-lagi mendapat
penyesalan setelahnya. Gilgamesh yang sedang tersenyum, bukan sesuatu yang
bagus buat kesehatan jantung Altria.
“Come, my queen.”
Gilgamesh tidak pernah absen memerlakukan Altria dengan
sangat istimewa dalam setiap kesempatan. Dan Altria sudah sangat kebal dengan
hal itu. Bayangkan saja, dua tahun mendapat perlakuan demikian, membuat Altria
terbiasa. Tiap kali Gilgamesh melakukan hal-hal yang akan mendapat pekik
kegirangan setiap perempuan, Altria tak lagi merasa degup yang membuatnya
gugup.
Namun, malam ini, saat Gilgamesh berkata demikian dengan
senyum tampan—Altria mengakui kalau Gilgamesh memang tampan, Altria tidak bisa
berkata-kata. Apalagi berkilah kalau dia tidak merona. Segera setelah keduanya
meluncur di jalanan yang membelah beragam stand yang berjejer di kanan
kiri jalan, Altria memalingkan wajah. Tidak ingin terus menerus mengamati
profil Gilgamesh yang sering mengundang kagum sebagian besar perempuan.
Sudah dapat ditebak bagaimana sepanjang perjalanan hanya
Gilgamesh yang banyak berceloteh. Altria hanya akan menyahut sesekali,
secukupnya. Dia tidak pernah mengatakan yang tidak perlu. Kadang berseru cukup
kencang saat Gilgamesh melakukan hal-hal di luar nalar. Mengejutkannya dengan
makanan menyeramkan—cumi-cumi yang gosong, atau merangkulnya secara tiba-tiba. Yang
tentu saja, Altria tidak suka.
“Apa menurutmu ini tidak kekanak-kanakan?” tanya Altria
setelah menghela napas memandangi alat mirip saringan penangkap ikan berukuran
mini.
“Menjadi anak kecil tidak seburuk yang kamu kira. Setidaknya,
kita bisa melupakan sejenak masalah yang ada. Karena seorang anak kecil hanya
tahu bagaimana bahagia.”
Altria tidak mengerti. Gilgamesh yang berkata sebijak itu
menurutnya bukan Gilgamesh. Altria mulai berpikir kalau Gilgamesh sedang
kerasukan makhluk halus, atau sedang mabuk. Makanya berkata yang tidak-tidak.
Tapi, saat melihat bagaimana seriusnya Gilgamesh menekuri ember
besar yang menampung puluhan ikan kecil berwarna kuning, membuat Altria
seketika bungkam. Tidak pernah dia melihat Gilgamesh seserius sekarang. Dia
lebih sering melihat wajah jahil serta meremehkan Gilgamesh.
“Dapat!” Lamunan Altria terinterupsi pekikan tidak biasa
seorang Gilgamesh. “Hey! “ juga protes pemuda tersebut saat jaring mungil yang
memerangkap ikannya robek, hingga ikan tersebut terbebas kemudian kembali
berenang dengan bebas di dalam ember.
“Aku ingin jaringnya lagi!” wajah galak Gilgamesh
mengejutkan penjaga stand yang mengangsurkan beberapa jaring dengan
takut.
Hal itu mencipta sebuah senyum kecil di wajah Altria yang
tidak disadari Gilgamesh. Pandangan Altria tertumbuk pada tangan mereka yang
saling menaut. Gilgamesh tidak pernah melepaskannya barang sedetik saja. Sepertinya
dia terlalu takut Altria tiba-tiba lari.
Keterdiaman Altria lagi-lagi terinterupsi erangan frustasi
Gilgamesh. Sudah banyak jaring yang pemuda itu gunakan untuk menangkap ikan.
Namun, belum ada satupun ikan yang terperangkap.
“Tidak mungkin! Pasti kalian sudah melubangi jaringnya, ‘kan?
Makanya tidak ada satupun ikan yang bisa kutangkap!” mendengar seruan galak
Gilgamesh, membuat penjaga stand kian mengkerut di tempat. Ingin menyanggah
namun kelewat takut dengan aura mengintimidasi seorang Gilgamesh.
Remasan tangan dari Altria mengalihkan perhatian pemuda
tersebut. Di sampingnya, perempuan itu mengangsurkan ikan yang berhasil
ditangkapnya. Dengan tangan kiri lagi.
Gengsi, Gilgamesh memalingkan wajah. Sekilas, Altria melihat
ada rona merah di pipinya.
“Bungkus, itu.” Titah Gilgamesh yang segera diamini oleh
penjaga stand dengan membawakan plastik bening ke hadapan Altria.
Selesai dengan stand ikan, keduanya kembali berjalan.
Di lengan kirinya, Altria membawa ikan mungil berwarna kuning dalam plastik.
“Ini, bukankah tadi kamu sangat menginginkannya.” Lagi,
Altria mengangsurkan ikan dalam bungkusan ke hadapan Gilgamesh.
Pemuda tersebut terlihat diam sejak mereka meninggalkan stand.
Padahal, Altria yakin, sebelumnya Gilgamesh bersemangat sekali saat menangkap
ikan tadi.
Sejujurnya, Gilgamesh ingin menangkap sendiri ikan tadi lalu
memberikannya pada Altria sebagai bukti cinta juga perjuangannya. Sialnya,
melihat bagaimana mudahnya Altria menangkap ikan—sedangkan dia harus berjuang
mati-matian (oke, ini berlebihan), membuat Gilgamesh dongkol setengah mati.
“Sudah tidak minat,” sahut Gilgamesh sembari membuang
pandang pada jalanan.
“Kamu ini aneh, tadi kamu begitu menginginkannya, sekarang
kamu malah tidak perduli. Jangan-jangan kamu memperlakukan hal yang sama pada
semua hal?”
Sepertinya perkataan Altria memukul telak Gilgamesh. Karena
tiba-tiba saja pemuda itu menghentikan langkahnya. Menoleh pada Altria yang
kini tengah memandanginya dengan tatapan bingung. Ada banyak hal yang ingin
dikatakan pemuda tersebut. Ada beragam sanggahan yang ingin diucapkan. Namun
bibirnya terasa beku, mulutnya terasa kelu, Gilgmesh membisu.
Kemudian, sudut-sudut bibirnya ditarik. Tangannya yang
bebas, meraih wajah Altria. Menyapu lembut pipi perempuan tersebut dengan ibu
jarinya.
“Hanya orang yang pantas, yang tidak akan menerima perlakuan
demikian.” Gilgamesh mengatakannya dengan menatap tepat ke mata Altria. Menyalurkan
semua cinta yang dimilikinya.
Kata orang bijak, mata seseorang mampu mengatakan segalanya.
Kebohongan bisa dibuktikan hanya dengan melihat mata. Mata juga dapat
menyorotkan kejujuran serta ketulusan. Dan saat ini, Altria membuktikan hal
itu. Melalui mata yang menyita perhatiannya, Altria tahu, hanya ada dia yang
menjadi poros bagi dunia Gilgamesh.
“Aku ingin kamu menyimpan ikan itu, untukku.” Setelah
berkata demikian, Gilgamesh mengusak puncak kepala Altria kemudian kembali
mengayun langkah. Mengabaikan Altria dengan dunia yang berpusing di sekitarnya.
Altria baru tahu, kalau kenyataan semembingungkan itu.
Langkah keduanya kembali terhenti saat sebuah ledakan di angkasa
menyita banyak perhatian. Rangkaian cahaya berwarna-warni menghias kelamnya
malam di langit sana. Silih berganti, tanpa henti. Pesta kembang api yang
menjadi bintang festival telah dimulai. Dan Altria di sana, menikmatinya dengan
seseorang yang menggenggam tangannya sepanjang malam.
Keesokan harinya, saat kegiatan sekolah berjalan dengan
semestinya, saat orang-orang dengan bersemangat menceritakan pesta kembang api
semalam, Altria memasuki ruang kelasnya. Di sana ada Shirou yang sedang
mengobrol bersama teman lelakinya.
“Oy, Altria, apa semalam kamu melihatnya? Kembang apinya
keren sekali, sayang sekali kamu tidak ikut melihatnya bersama kami,” celoteh
Shirou menyambut pagi Altria.
“Kami?” Altria tidak mengerti.
“Apa kamu lupa? Kelas kita menyiapkan tempat terbaik untuk
menonton kembang api. Tohsaka bahkan menyiapkan banyak makanan untuk kita,”
jelas Shirou diangguki lima anak laki-laki yang mengelilinginya.
“Begitu, yah,” sahut Altria.
“Ada apa, Altria? Apa Gilgamesh menganggumu lagi pagi ini?”
selidik Shirou setengah khawatir.
Altria terhenyak. Pantas saja ada yang aneh dengan paginya
hari ini. Tidak ada suara Gilgamesh yang akan menyambutnya di gerbang sekolah. Mengawalnya
dengan celoteh tidak penting sampai ke kelas. Sampai Shirou menegurnya, sampai
Gilgamesh disibukkan anak perempuan yang memujanya.
“Gil ... gamesh,” gumam Altria.
Shirou tak lagi menaruh perhatian pada Altria. Pemuda itu
disibukkan dengan beragam percakapan khas laki-laki. Altria berjalan lesu ke
bangkunya. Memandang ke langit di pagi hari setelah Altria duduk.
Seharusnya Altria berbahagia. Tidak ada lagi yang
menganggunya. Altria bisa menjalani harinya dengan damai.
Seharusnya.
Tapi kenyataanya tidak demikian.
Menghilangnya Gilgamesh selama sepuluh hari, meninggalkan
lubang yang tidak bisa di definisikan Altria.
Tanpa dia sadari, Altria terbiasa dengan eksistensi
Gilgamesh di sekitarnya. Ikan kecil yang ditangkapnya tempo hari, tak
mengurangi kerinduan Altria pada pemuda tersebut.
“Apa kamu merindukanku?” siluet Gilgamesh menjelma,
bersuara. Duduk di hadapan Altria yang sedang memandangi ikan dalam toples di
atas meja. Di ruangan yang jauh dari keramaian, di ruang OSIS.
Dalam sorot cahaya sore hari, bayangan Gilgamesh yang
menopang kepala dengan sebelah tangan terlalu realistik untuk diabaikan.
“Kamu tahu, aku benar-benar merindukanmu,” sambungnya.
“Aku tidak merindukanmu,” tukas Altria yang mengundang tawa
Gilgamesh. Tawa yang tidak pernah Altria dengar dalam sepuluh hari terakhir.
“Jawaban khas seorang Altria.” Bayangan tersebut kembali
bersuara. Selayaknya bayangan, saat Altria berkedip, eksistensinya melebur
bersama cahaya mentari yang kian menipis. Sesaat sebelum menghilang, Gilgamesh
tersenyum. Senyum yang terukir saat
menyapu lembut pipi Altria.
“Tapi aku sangat merindukanmu.” Kalimat itu akhirnya
terucap. Bersamaan dengan setitik air mata yang mengalir di pipi. Bagian yang
sama, yang di sapu Gilgamesh dengan ibu jarinya di malam festival.
FIN
Oke, jadi mau cerita dulu. Ini fanfic? Iya. Tokohnya diambil dari serial anime Fate. Ini request-an teman, jadi sekalian jadi bahan buat ODOP saja.
Gilgamesh sama Altria/Arthur Pendragon ini legenda dunia. Gilgamesh raja Uruk yang disegani, King of Heroes, orang-orang memanggilnya. Sedangkan Altria Pendragon, aslinya Arthur Pendragon. Yang sudah diketahui semua orang, dia raja Camelot, King of Knight, yang memimpin para ksatria meja bundar. Tapi, di anime ini karakternya di buat jadi perempuan. Mungkin biar greget. I dunno.
Tapi saya suka mereka, hahaha.
Sekian ceritanya.
#OneDayOnePost
#ODOPBatch5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar