Madea dan Jalanan Malam Jakarta

Karna selalu menghindari berhubungan badan. Padahal, hal tersebut mutlak dalam pekerjaannya. Biasanya dia akan mencari-cari alasan, yang persentasinya nyaris mendekati nol. Karena, untuk itulah tante-tante kaya raya membayarnya. Dipuaskan secara jasmani juga rohani.

Keesokan paginya, Karna bakal muntah hebat. Tak ada makanan yang mau di cerna perutnya. Segala yang masuk, akan segera keluar saat itu juga. Maka, dalam satu tahun pertama Karna menjalani pekerjaanya, berat badannya turun drastis. Setelah punya cukup tabungan, Karna memutuskan untuk mengurangi frekuensi pekerjaannya.



Kecuali saat-saat mendesak. Tabungannya mulai tipis atau ada pelanggan yang memaksa. Lebih tepatnya, Jailani, karibnya memaksa Karna dengan beragam cara.

"Pelanggan aku bawa temen. Mintanya dua orang, makanya dia minta aku bawa temen juga. Tenang, bayarannya beda. Biar double date juga katanya," dalih Jailani, menurut Karna. Tapi dia iyakan juga.

Itulah kali pertama Karna bertemu Madea. Tante-tante kelebihan uang yang menurutnya sama saja.

Hanya saja, reaksi wanita tersebut yang mengusik nurani seorang Karna.

Menolehkan kepalanya, Madea menatap Karna dengan raut terkejut kemudian berubah berkaca-kaca seperdetik kemudian. Tatapan yang menyiratkan kebahagiaan, kelegaan, juga rasa penasaran. Jenis tatapan seorang ibu saat melihat anaknya mendapat nilai yang memuaskan.

Anehnya, Madea tidak pernah meminta Karna untuk menidurinya. Kalau menginap, beda lagi ceritanya. Karna selalu diminta untuk menemani Madea tidur, mendekapnya hingga pagi. Tidak pernah lebih.

Atau, kalau tidak, Madea lebih senang mengajaknya berkeliling jalanan kota Jakarta di malam hari. Sampai puas, sampai lelah. Mengobrol beragam hal. Membicarakan yang sedang ramai atau sekedar ngalor ngidul membahas banyak hal.

Karna tidak pernah keberatan tiap kali Madea minta ditemani. Dalam sebulan, mereka bisa bertemu lebih dari lima kali. Pertemuan mereka kebanyakan di malam hari. Selain waktu itu yang senggang, suasana malam Jakarta terasa menenangkan. Berjalan berdua dinaungi lampu kuning trotoar juga nyanyian para pengamen.

"Karna, kamu tidak tertarik buat nyoba kerja yang lain, begitu?" keduanya tengah duduk di trotoar yang menyediakan bangku. Menikmati lalu lalang kendaraan, juga lampunya yang serupa kerlip bintang.

Karna menoleh, mengalihkan atensi pada Madea di sampingnya dengan sebelah alis terangkat.

"Maksudnya?"

"Iya, IP kamu, 'kan lumayan tinggi, tampang memadai, kenapa nggak ngelamar kerja ke perusahaan-perusahaan tertentu?" tumben sekali hari itu Madea kepo.

"Nggak minat." Karna menyalakan sebatang rokok, menawari Madea yang dibalas dengan gelengan.

"Gimana nanti kasih makan anak isterimu. Kamu mau begini terus?" kalau bukan Madea yang bertanya, mungkin diwajahnya sudah muncur memar biru.

"Nggak tahu juga. Nggak pernah kepikiran."

"Yah, aku sih kasian aja sama anak isterimu nanti."

"Umur manusia tidak ada yang tahu, 'kan?"
Sepertinya ucapan Karna membekas di hati. Karena setelahnya, Madea diam seribu bahasa.

Matanya menelisik jalanan yang terhampar di depan mata. Kerlip lampu mobil yang silih berganti. Juga, kesenyapan misterius yang cuma bisa kamu temukan di kota-kota, di malam hari.

FIN
#ONEDAYONEPOST #ODOP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...