Putih

Tantangan Fiksi Pekan kedua
"Hewan Peliharaan"

***

"Putih"

Aku menggeram, menyalak, namun tidak menghentikan manusia-manusia jahanam ini menyentuh tuanku. Mereka malah mengangkat lalu melemparkan tubuhku dengan mudah. Rasa sakit tubuhku saat menghantam tembok tak sesakit yang dirasakan tuanku saat ini. Dia menangis, meraung, berontak. Namun tubuh kecilnya, tak mampu menandingi tenaga lima pria paruh baya.

Tuanku ….

Tuanku ….

Tuanku yang malang ….


***

“Makanlah. Hanya ini yang aku punya.” Waktu itu, aku ingat belum makan seharian. Saking lemasnya, aku sampai tidak bisa berjalan cari makanan. Tiba-tiba saja dia datang menyodorkan sepotong daging mentah ke hadapanku. Karena lapar, aku tidak berpikir ulang. Tidak juga jual mahal. Aku lapar, butuh makan, bukan rasa kasihan.

Sembari mencabik sepotong daging yang tidak lebih besar dari kepalan tangan manusia, aku melihatnya tersenyum. Wajah kusamnya yang setiap hari tertimpa sinar matahari, tak mampu menyembunyikan ketulusan dari senyumnya. “Syukurlah,” katanya. Aku tidak tahu apa yang patut disyukuri. Aku yakin rasa laparnya tidak lebih baik dari rasa laparku.

Setelah mengusak puncak kepalaku, gadis itu berlalu. Dari kejauhan aku masih bisa melihat siluetnya. Kalau boleh aku menebak, mungkin usianya baru menginjak dua belas.  Sudah cukup buat memasuki bangku sekolah menengah. Kaus gombrang yang dikenakannya, bisa jadi hasil temuan di tempat sampah atau di manapun tempat manusia membuang barang-barang seperti itu. Karena bukannya memperlihatkan lekuk tubuh gadis tersebut, kaus itu justru membuatnya terlihat seperti orang-orangan sawah. Tidak perlulah aku jelaskan dari mana aku tahu orang-orangan sawah.

Gadis itu berdiri di belakang orang-orang yang hendak naik angkutan umum. Saat penumpang terakhir masuk, gadis tersebut mengambil tempat di pijakan yang biasa digunakan penumpang saat masuk ke dalam angkutan umum. Kala kendaraan tersebut melaju, si gadis memulai aksi. Menjual suaranya yang tidak seberapa. Untuk menyambung hidup dari waktu ke waktu yang terhitung jumlahnya. Entah sampai kapan. Entah sampai di mana.

***

Sepotong daging tidak membuat tubuhku cukup kuat bertahan sampai esok hari. Namun cukup kuat buat berjalan-jalan mencari tambahan lainnya. Biasanya aku akan berkeliaran di sekitar warung makan pinggir jalan. Aksesnya lebih mudah dan aku tidak akan diusir mentah-mentah seperti saat mengunjungi restoran-restoran besar. Disiram air masih lebih baik ketimbang di pukul pakai sapu.

Aku mengendus, mengendap agar tidak ketahuan. Mencari sisa-sisa makanan yang terjatuh di tanah. Apapun, apa saja, yang penting perutku terisi. Beberapa pemilik warung makan sepertinya sudah hafal dengan keberadaanku, jadi mereka tidak akan segan-segan menumpahkan makanan sisa di dekatku. Ada juga orang-orang fanatik yang baru melihatku dari jarak lima meter sudah berteriak-teriak. Meminta pemilik warung buat mengusirku jauh-jauh lalu mengatai-ngataiku. Padahal kalau mereka sedang kesal, namaku yang akan mereka sebut.

Hm, manusia itu membingungkan.

Asyik menikmati makanan sisa yang aku temukan, sebuah lengan mengelus pucuk kepalaku.

“Hai, kita bertemu lagi. Mau makan bersamaku?” suara nyaring itu. Aku mendongak, menemukan seraut wajah gadis yang memberiku sepotong daging siang tadi. Ditangannya sudah ada kresek hitam. Gadis itu mengacungkan kresek tersebut di depan wajahku.

“Ayo!” ajaknya yang tanpa menunggu persetujuanku, mengangkat tubuh ringkihku ke dalam dekapannya. Tidak ada rasa jijik dari gadis tersebut seperti kebanyakan orang saat melihatku.

***

Gadis tadi bernama Mimi. Dia sendiri yang memperkenalkan diri. Dan aku diberi nama Putih. Padahal buluku kucel sekali.

Kresek hitam yang dibawa Mimi tadi berisi dua bungkus kertas nasi. Satu berisi nasi goreng yang satu dua paha ayam. Yang terakhir menjadi jatahku. Entah berapa banyak uang yang dia habiskan untuk dua potong ayam yang dimakan seekor anjing jalanan sepertiku.

“Tidak apa-apa, Putih. Hari ini aku dapat banyak uang, jadi kamu tidak perlu khawatir.” Aku mendengus, dia seperti bisa membaca isi kepalaku.

“Malam ini, kamu tidur bersamaku yah. Kita cari tempat yang hangat. Oh, iya, tadi siang aku menemukan selimut. Cukup layak buat kita pakai dan ukurannya lumayan besar, jadi kamu tidak perlu takut kedinginan.” Mimi berceloteh panjang lebar.

Dia sudah gila yah? Mengajakku tidur bersama? Dia tidak takut tertular penyakit, yah?

“Kamu dan aku itu sama. Sama-sama terbuang. Karena itu, kita harus saling menjaga. Aku sudah tidak punya orangtua, apalagi saudara. Aku tidak menyukai anak-anak lain. Mereka jahat.”

Aku sudah banyak mendengar keluh kesah. Sudah biasa. Sayangnya aku hanya bisa mendengarkan. Tidak bisa menjawab, tidak bisa memberikan nasihat. Dan sepertinya dia memang tidak membutuhkan itu semua.

“Nah, Putih, sudah selesai? Ayo kita cari tempat untuk tidur malam ini.”

Sejak malam itu, entah bagaimana bisa takdir kami dimulai. Mimi menjadi tuanku, dan dia memiliki teman baru.

***

“Putih, hari ini kamu mau kemana?” dia bertanya di suatu pagi yang hangat. Mengelus punggungku yang berada di pangkuannya berkali-kali. Aku tidak menjawab tentu saja. Malah merem melek menikmati kehangatan telapak tangannya.

“Hari ini aku mau mengamen kembali. Kalau aku dapat uang banyak, kita makan ayam. Kamu bisa menungguku di warung makan tempat kita biasa membeli nasi. Selepas adzan, aku akan segera mencarimu. Jangan pergi jauh-jauh, jangan nakal,” katanya yang terkesan seperti kalimat perpisahan daripada nasihat majikan pada peliharaannya.

Tiga bulan berlalu dan keseharian kami masihlah sama. Tidak ada yang berbeda. Dari pagi hingga sora dia akan pergi mengamen. Kalau sedang dapat banyak uang, biasanya dia libur sehari. Bermalas-malasan. Besoknya dia pergi lagi. Kalau uang yang dia dapat hanya cukup buat sebungkus nasi dan sepotong ayam, biasanya kami berbagi.

Hari ini dia kelihatan lain dari biasanya. Aku tidak tahu apa dan aku tidak mengerti. Aku hanya seekor anjing jalanan, bukan manusia berdasi yang berpendidikan.

Setelah selesai mengelus punggung, Mimi menurunkanku. Mengelus puncak kepalaku sekilas lalu berbalik meninggalkanku.

“Sampai jumpa, Putih!” pamitnya sambil melambai. Setengah berbalik dengan senyum tersemat di bibirnya.

***

Waktu yang dijanjikan tiba. Aku duduk di dekat warung makan yang biasa kami datangi. Pemilik warung dan beberapa karyawannya mengenal baik aku juga Mimi. Mereka menyapaku juga menyatakan keberadaanku di sana.

“Lagi nunggu Mimi, yah?” kira-kira seperti itu. Yang tentu saja tidak bisa kujawab.
Aku diam saja selama satu jam ke depan. Saat orang-orang berlalu lalang. Membereskan perlengkapan warung, membersihkan peralatan makan yang sudah digunakan. Sesekali mereka menjatuhkan makanan di dekatku yang akan aku makan sedikit sebagai penghargaan. Aku tidak mau kenyang duluan sebelum Mimi datang. Sampai malam menjelang larut serta pengunjung mulai satu dua yang datang, Mimi belum juga kelihatan.

Awalnya aku berpikir mungkin Mimi sedang giat mencari uang atau ke sasar, atau salah naik angkutan, atau angkutan yang dia tumpangi melewati perbatasan kota hingga butuh waktu lama buat kembali. Tapi hingga warung makan sepi sekali, Mimi tak kunjung datang. Sampai pemilik warung heran sendiri. Bertanya pada beberapa karyawannnya.

“Si Mimi belum datang juga?”

“Belum, kang.”

“Ada yang lihat dia, nggak?”

“Tadi sore saya lihat dia masih ngamen, kang.”

“Ke mana yah anak itu.”

Ternyata bukan aku saja yang mengkhawatirkan Mimi. Aku putuskan untuk mencarinya. Dengan penciumanku yang tajam, pasti tidak sulit untuk segera menemukan Mimi.

Benar saja, tidak sampai setengah jam, aku menemukan keberadaan Mimi. Di pasar yang tidak jauh dari warung makan yang sering kita singgahi. Pasar yang kadang jadi tempat tidur sementara kami. Nahasnya, aku cukup terlambat saat memutuskan untuk mencari Mimi.

Di sebuah pelataran kios, Mimi tengah di jamah lima pria yang mungkin seumur bapaknya. Diteriaki, di sentuh di sana-sini. Bahkan ada yang tidak segan-segan menyodorkan kejantanannya ke mulut Mimi. Kelima pria itu asyik bermasyuk dengan tubuh Mimi.

Aku menggeram marah. Menyalak beberapa kali hingga mengundang perhatian mereka. Aku menerjang, menggigit lengan pria yang mengerjai tubuh bagian bawah Mimi. Pria itu mengibaskan lengannya, mencoba melepaskan gigitanku. Tapi tidak semudah itu. Sampai rekannya menarik paksa tubuhku. Melemparku hingga berdentum menghantam tanah.

Aku tidak menyerah begitu saja. Kembali aku menyalak galak. Mengincar pria yang menjejali mulut Mimi dengan kejantananya. Tangannya berhasil kugigit, kaki depanku berhasil mengenai wajahnya. Dia menggeram marah. Lantas melepaskan diri dari Mimi.

“Anjing sialan! Berani-beraninya menggangguku, hah!”

Tidak hanya menarik paksa tubuhku lalu melemparnya, pria tersebut menginjak-nginjak tubuhku berkali-kali. Hingga kurasa tulang-tulangku retak beberapa. Aku merintih kesakitan. Setelah puas menginjak, pria tadi menendang tubuku. Amat kuat hingga aku terlempar ke seberang kios. Hantaman kali ini benar-benar meremukkan tubuhku.

Aku terpejam, merasai sakit di sekujur tubuh. Teringat Mimi yang nasibnya jauh lebih buruk dariku, membuat aku memaksakan diri membuka mata. Dari tempatku, aku bisa melihat Mimi menangis. Tangannya menggapai-gapai ke arahku. Bibir lecetnya bergerak. Mengucap satu kata yang kukenali dengan pasti. Setidaknya, itu yang kuingat sebelum aku menutup mata dan tidak pernah melihatnya kembali.

“Putih.”

Mimi ….

Majikanku ….

Tuanku yang malang ….

Maaf aku tidak bisa melindungimu.

FIN
#OneDayOnePost #ODOPBatch5 #TantanganFiksi #Pekan2

2 komentar:

  1. Sedih bacanya. Selalu keren tulisannya Mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sesek sendiri bikinnya~ 😂

      Makasih mbak udah mampir~ :D

      Hapus

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...