Tak Ada yang Sia-sia

"Bisakah, kamu nggak usah pergi?"

Kening Rambang berkerut begitu bersitatap denganku. Sesuatu yang tidak mengherankan kala kamu bertemu dengan orang asing. Saat kamu keluar rumah, hendak menyiapkan mobil seperti yang dititahkan sang Ayah, lalu menemukan seorang gadis yang mengatakan hal yang tidak-tidak, kamu patut curiga. Itu yang Rambang lakukan. Apalagi malam menjelang dini hari seperti ini.


Matanya menelisik dari atas ke bawah dari bawah ke atas. Mengingat-ingat di mana dia bertemu denganku, atau dari panti mana aku berasal. Bisa jadi aku orang gila, bisa jadi aku salah orang.

"Maaf, saya nggak ngerti maksud kamu. Sepertinya kamu salah orang?" kata Rambang sepuluh detik sejak aku menguar tanya.

"Tidak, aku tidak salah orang. Kamu Rambang, anak tuan Lubai. Dan sebentar lagi, kamu akan bertemu dengan Tauke Besar, orang yang begitu kamu idolakan," jelasku pelan penuh penekanan ditiap katanya.

Rambang kian menyipitkan mata. Mungkin berpikir aku penyihir atau seseorang dengan berkemampuan khusus. Tebakanku begitu akurat, tidak mungkin tidak membuat dia berpikir demikian.

"Bagaimana kamu tahu tentang Tauke Besar?" desisnya penuh kehati-hatian. Sarat akan sesuatu yang berbahaya.

"Tidak penting bagaimana aku tahu tentang Tauke Besar." Lenganku terayun ke depan, lalu kembali saling genggam satu sama lain. "Yang terpenting keselamatanmu, Rambang. Juga masa depanmu. Mungkin cita-citamu dapat terwujud dengan tidak pergi."

"Kamu gila, yah?" Rambang mengucapkannya dengan raut datar. Mungkin sedikit tersinggung dengan kata-kataku. "Kapan lagi saya bisa melihat Tauke Besar? Dan tolong, jangan sok tahu soal cita-citaku. Keinginanku tidak sesederhana yang orang-orang pikir."

"Aku tahu, Rambang. Aku tahu. Dan aku mengerti," aku tetap kukuh. "Tapi dengan perginya kamu hari ini, cita-citamu hanya sebuah cita-cita."

Tangan kanan Rambang terangkat, membuatku berhenti mengucapkan apa yang ingin kuungkapkan.

"Saya tidak tahu siapa kamu dan saya benar-benar tidak mengerti apa yang kamu katakan. Kalau kamu mau cari perhatian, bukan begini caranya."

Rambang mulai melangkah, meninggalkanku jauh di belakangnya. Aku mengejarnya, tentu saja.

Tidak. Ini tidak boleh terjadi!

"Rambang! Rambang, tunggu!"

Rambang bukan seperti kebanyakan pemuda Indonesia pada umumnya. Biarpun baru berusia delapan belas, tingginya bukan main. Langkah kakinya lebar, jadi cukup sulit buatku mengejar.

Sibuk mengejar, aku sampai tidak tahu kalau dia berhenti mendadak. Kepalaku membentur punggung lebarnya.

"Berhenti! Berhenti mengganggu! Mengasari perempuan bukan sesuatu yang berkelas. Dan saya benci itu."

Aku mengerjap bingung juga kagum. Dia ini, bisa-bisanya di saat seperti ini ....

"Apapun yang kamu katakan, saya akan tetap pergi menemui Tauke Besar. Dan tolong, ini sudah sangat larut. Tidak seharusnya seorang perempuan berkeliaran tengah malam begini."

"Rambang, sudah kamu siapkan mobilnya?" teriak tuan Lubai dari depan rumahnya.

Aduh, ini gawat!

"Tentu, Ayah!" balas Rambang.

Rambang sudah ingin mengatakan sesuatu padaku namun urung. Bergegas pemuda tersebut menggapai mobil yang dimaksud sang ayah. Tanganku terulur, hendak mencegah kembali kepergian Rambang. Mencegahnya dari kematian yang sia-sia. Mungkin, di masa depan nanti, Rambang akan jadi orang yang hebat jika tidak mati.

Namun, apa mau dikata. Penulis inginnya begitu. Tauke Besar a.k.a Bujang, masih harus berjaya selama satu novel ke depan. Sayang Rambang tidak mendapat porsi banyak, meski amat sangat berjasa di kehidupan kesar seorang Agam Samad.

Seandainya, ah, seandainya aku bisa mencegah Rambang pergi.

FIN

Diambil dari salah satu tokoh di novel Pergi karya Tere Liye.

--------

Aku selalu berpikir, bagaimana rasanya depresi atau bagaimana rasanya ingin mati?

Tulisan ini bukan dibuat untuk merendahkan siapapun atau menceramahi pihak manapun. Aku hanya berpikir ... aku ingin jadi seseorang yang dapat membuat mereka berpikir, masih ada yang orang-orang yang peduli pada mereka, menginginkan keberadaan mereka di dunia ini. Bukan mencemooh mereka juga menjudge mereka lemah. Semua orang memiliki masalah, karena itulah manusia diciptakan untuk bersosialisasi. Agat kita saling mengerti, agar kita saling mendukung satu sama lain. Karena menurutku, semua orang membutuhkan perhatian butuh sesuatu yang dapat mendorongnya untuk terus merasa dibutuhkan di dunia ini.

Sejauh ini, tak banyak yang dapat aku lakukan. Aku juga tidak pandai berkata-kata. Pun bersikap yang pantas untuk menyampaikan kepedulianku kepada mereka. Maka dari itu, aku memilih bunga sebagai media penyampai perasaan.

Adalah bunga matahari yang jadi favoritku. Dia melambangkan kesetiaan, juga simbol kebahagiaan. Aku ingin, orang yang melihat bunga matahari, selalu ingat bahwa dia pantas bahagia. Bahwa ada seseorang yang menginginkannya terus bahagia.

"Oy! Siapa kamu?"

Gerakan tanganku terhenti. Tahu siapa pemilik suara tersebut. Sebelum berbalik, kuselesaikan dulu pekerjaan yang sejak tadi kutekuni. Setelah mantap menancap di tanah, aku berdiri. Membungkuk dalam ke arah Pavel, pemuda keturunan Rusia-Korea. Dengan nama panjang yang tidak bisa kulavalkan dengan baik.

"Annyenghaseo, Pavel." aku sengaja memanggilnya begitu. Ada raut keterkejutan di wajahnya ketika aku berdiri tegak kembali.

"Apa ... apa yang kamu lakukan di pekarangan rumahku?" meski baru menginjak kelas dua SMA, tinggi Pavel terlihat mengerikan. Dia lebih pantas duduk di bangku kuliah ketimbang SMA.

Aku terkekeh, merasa gagal memberi kejutan. Kugeser sedikit tubuhku, membiarkan Pavel melihat pohon bunga matahari yang tidak lebih dari tiga puluh senti, di balik rok lebar yang kukenakan.

"Ano, aku baru saja menanam sebuah pohon bunga matahari. Masih kecil, kalau kamu rajin menyiramnya setiap hari, pohonnya pasti cepat berbunga."

Pavel menatapku dingin dengan manik berwarna hijau berlian. Tatapan khas orang Rusia. Gen ayahnya benar-benar kuat. Tapi bahasanm Koreanya fasih sekali.

"Apapun maksud Anda, nona, jelas-jelas melanggar adat kesopanan. Anda telah masuk di halaman orang sembarangan dan menaruh sesuatu, yang bisa saja menganggu ketenangan penghuni rumah."

"Eh, aku tidak tahu kamu suka bunga apa, jadinya aku pilih bunga matahari saja." Pavel menggeram sembari menyisirkan lengannya lalu menariknya ke belakang.

"Bukan itu maksudnya--"

"Kamu tahu tidak, temanku bilang bunga matahari itu kayak stalker. Dia mengikuti matahari ke manapun dia pergi. Padahal dia itu bunga yang setia. Bunga matahari juga melambangkan kebahagiaan, kuharap saat bunga mataharinya mekar, saat itu juga kamu bahagia."

Pavel melongo. Dia pasti terkejut sekali. Aku tertawa kecil melihatnya. Wajah khas Rusia lucu sekali kalau sedang tidak mengerti.

Pavel Andryev (entah nama belakangnya benar atau tidak), di usianya, dia harus menjaga sang ibu yang menderita alzhaimer dini. Merawat seseorang yang begitu kamu sayangi namun dia malah melupakanmu, pasti sulit sekali. Itulah yang sedang Pavel hadapi.

Pavel kini malah menggaruk tengkuk. Dia mungkin mengerti ucapanku, tapi pasti sulit sekali mencerna bagaimana aku ada di sana. Dan apa tujuanku menanam bunga matahari di pekarangan rumahnya. Apalagi penampilanku yang tidak masuk diakal. Rok panjang lebar, kerudung panjang pula.

"Annyeong, Pavel. Jangan lupa bahagia."

Apapun yang terjadi, tetapi bertahan, Pasha-ya.

FIN
Diambil dari novel The Long Goodbye

#OneDayOnePost #ODOPBatch5 #TantanganRCO 

3 komentar:

  1. Aaahh... Aku belum punya Pergi. Itu sekuelnya Pulang kan ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru bales~ ><
      Iya, ini dari sequelnya Pulang mbak~ ^^

      Hapus
  2. Ini keren banget Teh Cahya.
    Sukaaa...

    BalasHapus

Asperger, OCD, dan Arsitektur

Judul : Garis Lurus Penulis : Arnozaha Win Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2019 Halaman : 296 halaman Blurb: Tidak banya...